Kami telah melawat Perpustakaan Kuno ini pada 5 Jun 2014, iaitu hari keempat lawatan kami di Aceh. Lawatan ini telah mengingatkan kita bahawa Islam telah berkembang dengan pesatnya di sebelah rantau dunia ini dan ulamak-ulamaknya sangat kaya di sudut ilmu.
Petikan daripada http://theglobejournal.com
Sabtu, 29 Januari 2011 00:00 WIB
Seulimum, Aceh Besar - Bagi sebagian masyarakat Aceh, terutama para mahasiswa, masih banyak yang tidak mengetahui tentang Perpustakaan Tanoh Abee. Perpustakaan ini berada di Seulimum yang saat ini dikelola oleh Ummi, istri Teungku Chik Tanoh Abee. Untuk berkunjung ke perpustakaan kuno ini kita harus menempuh perjalanan yang sedikit panjang. Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, kontributor The Globe Journal bersama-sama dengan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, berhasil berkunjung ke perpustakaan kuno yang terkenal hingga ke luar negeri tersebut.
Perpustakaan Tanoh Abee atau yang disebut juga Zauyah atau Tanoh Abee adalah milik pribadi keturunan Teungku Chik Tanoh Abee Al-Fairusi Al-Baqdadi (al-Baghdadi). Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam. Seperti ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf, ilmu Ibadah, ilmu Penciptaan Alam Semesta dan masih banyak ilmu-ilmu yang dibahas lainnya.
Perpustakaan ini sudah ada sejak abad 16 M. Uniknya dari perpustakaan ini adalah pesan Abu Tanoh Abee yang diteruskan oleh pihak keluarga, yaitu tidak membolehkan para muslimah untuk melihat kitab-kitab yang ada di dalam perpustakaan tersebut.
“Begitulah amanah abu kepada kami,” kata Umi yang diiyakan oleh seorang santri ketika kami mencoba menanyakan maksud dari larangan tersebut.
Semasa perang Aceh melawan Belanda yang berkecamuk dari tahun 1873-1913 M, Dayah (disebut juga Zauyah) Tanoh Abee tersohor sebagai salah satu tempat konsentrasi laskar Aceh. Di dalam dayah ini tersimpan banyak karya-karya klasik ulama-ulama nusantara bahkan Timur Tengah, yang semuanya itu disalin kembali oleh Abu Tanoh Abee. Manuskrip-manuskrip kuno itu berjumlah 6000 judul kitab.
“Sebagiannya ada yang dicuri oleh Belanda ketika perang berkecamuk, rusak akibat tersimpan lama di gua saat kitab-kitab ini disimpan untuk menjaga agar kitab-kitab tersebut tidak dicuri atau dibakar oleh Belanda, dan banyak juga yang terbakar akibat perang,” kata santri yang memandu kami masuk ke dalam perpustakaan kuno tersebut.
Umi kembali menjelaskan bahwa sebagian kitab ini juga sempat berada di sebuah dayah di Bitai, namun, akibat tsunami 2004 silam, kitab-kitab kuno itupun lenyap disapu gelombang tsunami. “Ada juga sebahagiannya dikubur oleh Abu (panggilan untuk Teungku Chik Tanoh Abee-red.), karena takut isi kitab-kitab tersebut dipelajari atau diamalkan oleh masyarakat awam (karena isinya sangat tidak mampu dipahami oleh manusia biasa,bisa menyebabkan murtad-red).”
Menurut catatan yang ada, saat ini manuskrip-manuskrip kuno ini dijaga dan dirawat oleh generasi ke sembilan Keluarga Al-Fairusi. Namun, sebenarnya ada juga karya-karya baru yang berada di perpustakaan ini. Manuskrip-manuskrip kuno ini sebenarnya tidak untuk dipelajari namun hanya dijadikan sebagai koleksi. Dan hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan dibaca. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan yang juga digunakan sebagai tempat pengajian tersebut.
Lantas, kenapa karya-karya ulama itu tidak boleh dibaca bahkan dipegang oleh orang lain?
Menurut istri Abu, atau akrab dipanggil oleh masyarakat sekitar sebagai Umi ini, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. Bahkan, ada kitab-kitab yang berada satu lemari di dalam perpustakaan itu yang tidak boleh dirawat atau dibersihkan oleh keluarga beliau.
“Pernah suatu hari, datang seorang peneliti asing ke rumah. Peneliti tersebut ingin melihat sendiri kitab-kitab berbahasa Arab yang menjadi koleksi Teungku Chik Tanoh Abee tersebut. Namun, setelah selesai membaca salah satu kitab tersebut, si peneliti tersebut terheran-heran dengan isi kitab tersebut, yang diluar batas ilmunya. Peneliti itupun akhirnya kagum terhadap kitab tersebut,” jelas Umi panjang lebar dengan logat melayunya yang khas.
Saat ini kitab-kitab ini sudah ditangani oleh pihak PKPM dan sebuah lembaga yang berada di Jepang. Oleh pihak Jepang, demi menjaga manuskrip-manuskrip kuno ini, kitab-kitab tersebut dibawa ke Jepang untuk disalin dan dicetak kembali tanpa mengubah isi untuk menjaga dari termakan oleh usia dan rayap.
Seperti dikatakan oleh Umi, di Zauyah ini banyak terdapat karya-karya ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Karya-karya klasik yang tersimpan disini antara lain milik Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nurruddin ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili (Teungku Syiah Kuala), Al-Ghazali dan lain sebagainya.
Petikan daripada http://theglobejournal.com
Melihat Lebih Dekat Pustaka Kuno Tanoh Abee
Abdul Fatah | KontributorSabtu, 29 Januari 2011 00:00 WIB
Seulimum, Aceh Besar - Bagi sebagian masyarakat Aceh, terutama para mahasiswa, masih banyak yang tidak mengetahui tentang Perpustakaan Tanoh Abee. Perpustakaan ini berada di Seulimum yang saat ini dikelola oleh Ummi, istri Teungku Chik Tanoh Abee. Untuk berkunjung ke perpustakaan kuno ini kita harus menempuh perjalanan yang sedikit panjang. Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, kontributor The Globe Journal bersama-sama dengan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, berhasil berkunjung ke perpustakaan kuno yang terkenal hingga ke luar negeri tersebut.
Perpustakaan Tanoh Abee atau yang disebut juga Zauyah atau Tanoh Abee adalah milik pribadi keturunan Teungku Chik Tanoh Abee Al-Fairusi Al-Baqdadi (al-Baghdadi). Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam. Seperti ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf, ilmu Ibadah, ilmu Penciptaan Alam Semesta dan masih banyak ilmu-ilmu yang dibahas lainnya.
Perpustakaan ini sudah ada sejak abad 16 M. Uniknya dari perpustakaan ini adalah pesan Abu Tanoh Abee yang diteruskan oleh pihak keluarga, yaitu tidak membolehkan para muslimah untuk melihat kitab-kitab yang ada di dalam perpustakaan tersebut.
“Begitulah amanah abu kepada kami,” kata Umi yang diiyakan oleh seorang santri ketika kami mencoba menanyakan maksud dari larangan tersebut.
Semasa perang Aceh melawan Belanda yang berkecamuk dari tahun 1873-1913 M, Dayah (disebut juga Zauyah) Tanoh Abee tersohor sebagai salah satu tempat konsentrasi laskar Aceh. Di dalam dayah ini tersimpan banyak karya-karya klasik ulama-ulama nusantara bahkan Timur Tengah, yang semuanya itu disalin kembali oleh Abu Tanoh Abee. Manuskrip-manuskrip kuno itu berjumlah 6000 judul kitab.
“Sebagiannya ada yang dicuri oleh Belanda ketika perang berkecamuk, rusak akibat tersimpan lama di gua saat kitab-kitab ini disimpan untuk menjaga agar kitab-kitab tersebut tidak dicuri atau dibakar oleh Belanda, dan banyak juga yang terbakar akibat perang,” kata santri yang memandu kami masuk ke dalam perpustakaan kuno tersebut.
Umi kembali menjelaskan bahwa sebagian kitab ini juga sempat berada di sebuah dayah di Bitai, namun, akibat tsunami 2004 silam, kitab-kitab kuno itupun lenyap disapu gelombang tsunami. “Ada juga sebahagiannya dikubur oleh Abu (panggilan untuk Teungku Chik Tanoh Abee-red.), karena takut isi kitab-kitab tersebut dipelajari atau diamalkan oleh masyarakat awam (karena isinya sangat tidak mampu dipahami oleh manusia biasa,bisa menyebabkan murtad-red).”
Menurut catatan yang ada, saat ini manuskrip-manuskrip kuno ini dijaga dan dirawat oleh generasi ke sembilan Keluarga Al-Fairusi. Namun, sebenarnya ada juga karya-karya baru yang berada di perpustakaan ini. Manuskrip-manuskrip kuno ini sebenarnya tidak untuk dipelajari namun hanya dijadikan sebagai koleksi. Dan hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan dibaca. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan yang juga digunakan sebagai tempat pengajian tersebut.
Lantas, kenapa karya-karya ulama itu tidak boleh dibaca bahkan dipegang oleh orang lain?
Menurut istri Abu, atau akrab dipanggil oleh masyarakat sekitar sebagai Umi ini, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. Bahkan, ada kitab-kitab yang berada satu lemari di dalam perpustakaan itu yang tidak boleh dirawat atau dibersihkan oleh keluarga beliau.
“Pernah suatu hari, datang seorang peneliti asing ke rumah. Peneliti tersebut ingin melihat sendiri kitab-kitab berbahasa Arab yang menjadi koleksi Teungku Chik Tanoh Abee tersebut. Namun, setelah selesai membaca salah satu kitab tersebut, si peneliti tersebut terheran-heran dengan isi kitab tersebut, yang diluar batas ilmunya. Peneliti itupun akhirnya kagum terhadap kitab tersebut,” jelas Umi panjang lebar dengan logat melayunya yang khas.
Saat ini kitab-kitab ini sudah ditangani oleh pihak PKPM dan sebuah lembaga yang berada di Jepang. Oleh pihak Jepang, demi menjaga manuskrip-manuskrip kuno ini, kitab-kitab tersebut dibawa ke Jepang untuk disalin dan dicetak kembali tanpa mengubah isi untuk menjaga dari termakan oleh usia dan rayap.
Seperti dikatakan oleh Umi, di Zauyah ini banyak terdapat karya-karya ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Karya-karya klasik yang tersimpan disini antara lain milik Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nurruddin ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili (Teungku Syiah Kuala), Al-Ghazali dan lain sebagainya.
Notis larangan yang dikenakan ke atas wanita |
Pustaka Tanoh Abee - di atas pintu tertulis...... "Dilarang masuk wanita tanpa izin" |
Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi merupakan ulamak generasi kesembilan dari keturunan langsung Sheikh Fairus, yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Sheikh Fairus sendiri adalah seorang ulamak Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya. Hampir 400 tahun sudah umur dayah dan perpustakaan ini.
Tidak banyak yang dapat dilihat di sini kecuali bangunan tinggalan sejarah. Buku-bukunya langsung tidak dapat dilihat mengikut kata suami, yang dapat masuk melihat ke dalam perpustakaan. Semua buku sudah dibungkus dengan rapi dan dilabel "United Nation". Mungkin mereka sedang dalam proses kerja-kerja memelihara dan menyelamat buku-buku tersebut dari kerosakan. Tidak dibenarkan mengambil gambar di pustaka ini dan diharamkan juga merokok di sini.
Larangan merokok terpampang jelas pada notis yang ditampal di salah satu tiang bangunan pustaka. Walau pun begitu, merokok dibenarkan di kawasan lain dalam dayah/zauyah ini, tetapi sebeluim ini ianya tidak dibenarkan juga oleh Abu (panggilan kepada Tgk. Haji Muhammad Dahlan). Tidak mahu pula diwarisi larangan yang 'sihat' ini.
Pustaka ini sering dipergunakan para santri/murid untuk solat dan berzikir. Daripada maklumat dalam internet yang terkini, di pustaka ini terdapat empat almari berwarna coklat muda di dalam bangunan tersebut. Masing-masing almari ini memiliki dua daun pintu. Di dalam keempat almari ini tersusun ratusan kitab tulisan tangan karya pengasas Dayah Tanoh Abee.
gambar Google - almari yang memenuhi kitab-kitab lama |
gambar Google - .contoh kitab lama |
Di kompleks dayah ini ada beberapa bangunan lama dan baharu yang terbiar. Bangunan yang lama sudah pasti terbiar kerana keuzurannya tetapi yang baharu pula terbiar kerana pembinaan yang ala kadar sehungga tidak membolehkan ia berfungsi sebagaimana dirancang. Ada sebuah bangunan tersergam indah dan menarik di sini iaitu rumah tradisional Aceh yang selalu disebut Rumoh Aceh.
Rumah Adat Aceh ..... di perkarangan dayah |
Bangunan baharu (putih) terbiar kosong kerana mengalami kerosakan.... satu "pembangunan yang disebut-sebut asal jadi" |
Gambar-gambar tokoh seperti Sultan Iskandar Muda dan Cut Nyak Dien dilekatkan di luar dinding bilik |
Info di dinding bangunan menyebut ......perpustakaan kuno.... |
Berdekatan dayah ini juga dikatakan ada kawasan perkuburan atau Jirat Putih. Jirat menurut sebutan orang Acheh membawa erti kawasan perkuburan. Di sinilah letaknya makam Sheikh Fairus Al-Bagdadi tetapi kami tidak mengunjunginya. Juga dikatakan ada mehrab di makam tersebut.
Hujung Dunia - KM 0 (Zero) Sabang
No comments:
Post a Comment