Tuesday, 7 April 2009

...hanya kerana sebiji epal!




Cari Pasangan

Mari-marilah
Dengarlah ini kisah silam oh kawan
Sangatlah berguna
Moga hidup aman bahagia

Di malam pertama jumpa mertua
Tersintak si jejaka di beritakan
Isterinya tidak sempurna rupa
Anggota zahirnya lumpuh semua
Tiada upaya mengurus diri


Terkejut si jejaka penuh persoalan di hatinya
Mungkinkah sudah jodoh itulah isterinya
Ibanya rasa hati
Namun tetap redha pada takdir



Asalkan punya iman itulah paling penting
Saat-sata berjumpa
Terpesona memandang
Benarkah isterinya Menawan sungguh cantik


Reff :
Cari-cari... carilah
Pasangan hidup betul-betul oh kawan
Bahagia berseri
Rumah tangga akan harmoni


Terhurai dijawablah oleh mertua
Zahirnya tak sempurna kiasan saja
Memberi makna sucinya diri
Wanita sholehah terpelihara


Terharu si jejaka tunduk bersyukur
Jangan mudah percaya harta pangkat dan rupa
Indahnya di mata berawaslah
Rasul sudah bersabda insan punya agama
Akhlaknya mulia fahamilah


Pertama kali saya mendengar lirik lagu nasyid  di atas, hati saya tertanya-tanya apakah cerita sebenarnya di sebalik lirik lagu ini. Lagu ini dinyanyikan oleh kumpulan Rabbani.

Kebetulan baru-baru ini saya terjumpa cerita kisah seorang ulamak yang hampir serupa seperti di atas dan saya yakin ia adalah kisah silam yang dimaksudkan.

Ia adalah kisah seorang  pemuda yang bernama Tsabit iaitu bapa kepada Imam besar Abu Hanifah. Dalam kisah  ini Tsabit telah diuji dan "diperangkap" oleh pemilik kebun epal untuk berkahwin dengan anak perempuannya. Peristiwa ini semuanya bermula dari hanya sebiji epal yang dijumpai oleh Tsabit ketika dia begitu lapar, lalu terus memakannya tanpa meminta keizinan dari pemiliknya.

Mesej yang ingin disampaikan sangatlah besar dari sudut kualiti seorang insan.

Teruskanlah membaca ceritanya agar ia menjadi iktibar bagi kita yang masih hidup.



...hanya kerana sebiji epal!

Siang itu udara panas sekali. Seorang anak muda berjalan sendiri, di tengah hutan gersang dengan pepohonan yang jarang. Tampak tersiok-siok berjalan. Didera rasa haus dan lapar ia mencuba untuk tetap meneruskan perjalanan. Ternyata di hutan itu ia menemukan sebuah sungai kecil berair cukup jernih.

Alhamdulillah air ini cukup membantu menghilangkan dahagaku.Dia berkata dalam hati seraya membasuh mukanya.

Namun setelah air mengalir membasahi kerongkongannya, perutnya pun berteriak minta diisi. Sudah dua hari lebih ia belum makan. Sepanjang melintasi perjalanan tadi, ia belum menemukan makanan apapun. Jangankan haiwan liar, pohon yang berbuah pun tak dijumpainya.

Sambil duduk memandangi sungai, ia merenungi perjalanannya, atau lebih tepat pengembaraannya. Telah beberapa waktu dilalui hidupnya untuk mengembara melintasi bumi Allah, sekadar mencari pengalaman hidup dan berguru pada mereka yang ditemuinya. Tanpa sedar kerana lapar dan ngantuk yang mulai menyerang, dilihatnya satu dua benda yang mengapung di sungai kecil itu. Dipandanginya lebih tepat. Ya, itu adalah buah, seperti buah epal kerana merah warnanya. Bangkit dari duduknya, kemudian mencari sebatang dahan kayu untuk menarik buah itu ke tepi.

“Alhamdulillah, kalau rezeki tak akan kemana. Bismillahirrahmaanirrahiim….hmm, lazat sekali epal ini. Serasa masih baru dipetik dari pohonnya.” Gumamnya, setelah 3-4 gigitan yang telah ditelan, tiba-tiba anak muda itu berhenti mengunyah epal tersebut.

“Astaghfirullah, buah ini belum diketahui siapa yang empunya,  sudah aku makan tanpa keizinannya.” Sejenak kemudian mengalir air matanya.Terisak  dia.

“Buah ini belum halal bagiku. Duhai perutku maafkan diriku yang telah memberikan sesuatu yang belum jelas kehalalannya padamu.” Terdiam, buah epal yang sudah separuh dimakan itu kemudian ia pandangi, berpikir mencuba mengolah isi hatinya. Satu sikap yang jarang diketemui dewasa ini

Zaman ini kejujuran begitu sukar ditemui. Kejujuran sudah menjadi barang antik, jangankan untuk mengembalikan atau menghalalkan sepotong epal, wang berjuta mengelabui mata, sambil tidak ada niat untuk mengembalikannya. Atau untuk hal-hal “kecil” seperti menggunakan barang-barang pejabat untuk keperluan peribadi, sudahkah kita menghalalkannya?

“Aku harus menemukan sumber dari buah epal ini. Bertemu dengan pemiliknya dan meminta kepadanya untuk mengikhlaskan satu buah epal ini untuk menjadi rezekiku.”

Bergegas ia membereskan perbekalannya dan kemudian berjalan menyusuri sungai kecil itu untuk menemukan sumber buah epal yang dimakannya. Hingga sampailah ia di sebuah kebun kecil di pinggir sungai yang disusurinya itu. Tampak ada beberapa ladang dengan beberapa jenis tanaman lain di dekat situ, juga sebuah gudang kecil. Sejurus kemudian terhenti pandangannya pada sebuah rumah yang sederhana namun cukup ceria yang menunjukkan penghuninya adalah orang yang rajin menjaganya. Menujulah ia kesana dengan harap-harap cemas dapat bertemu pemiliknya.

Pemuda Tsabit sesekali membandingkan epal yang ada di tangannya dengan epal yang ada di sekitar kebun itu. Tsabit yakin epal yang ada di tangannya itu berasal dari kebun itu.

“Assalamu’alaikum..”
“Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”


Sesusuk lelaki separuh baya muncul dari balik pintu.
“Siapakah engkau wahai anak muda?”
“Nama saya Tsabit bin Ibrahim, apakah tuan pemilik rumah ini, juga kebun dan ladang di dekat rumah ini?”
“Betul, sayalah pemiliknya.”
“Apakah kebun epal itu juga milik tuan?”
“Iya, kebun itu milik saya, sekarang sedang berbuah.
“hmm, silakan masuk dan duduk dulu.”

“Begini tuan, saya adalah seorang pengembara, ketika sedang dalam perjalanan, saya menemukan sungai kecil. Di situ kemudian saya temukan beberapa buah epal yang terapung. Kerana lapar yang telah begitu mendera , saya ambil dan saya makan. Saya baru sedar bahawa buah ini pasti ada yang punya sebelumnya, hingga kemudian saya mengikuti sungai tadi dan menemukan kebun dan rumah Tuan” jelasnya sambil memperlihatkan buah epal yang tinggal separuh.

“Hmm….”, lelaki pemilik rumah itu bergumam pendek.

“Maafkan saya, sudilah kiranya Tuan yang baik hati untuk mengikhlaskan buah epal ini untukku. Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah epal ini akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya seumur hidup saya. Tak terperi rasanya dalam urat nadi saya mengalir darah yang yang disusupi ketidakhalalan. Bagaimana pertanggungjawaban saya terhadap keturunan saya, darah daging saya kelak??” Pemuda ini kembali menyapu air mata yang menggenang..

Pemilik kebun itu adalah seorang yang alim dan soleh. Ia tahu, dalam pandangan agama tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan epal yang ditemukan di pinggir sungai.

Ia merenung, “Saya ingin mengetahui, apakah anak muda ini benar-benar seorang yang ‘alim, yang takut pada Allah kerana telah melakukan sesuatu yang ia tidak yakin apakah itu benar atau salah. Atau ia hanya seorang pembual bermuka dua, yang hanya ingin menarik perhatian?” Untuk tujuan menjawab pertanyaan itu, akhirnya pemilik kebun epal memutuskan untuk menguji anak muda tersebut.

Setelah beberapa saat pemilik kebun epal berkata dengan roman muka yang masam. “Anak muda, saya tidak boleh begitu mudah memaafkan kamu, saya punya persyaratan untuk itu.” Tiba-tiba ia mendapat idea untuk menguji anak muda ini.

“Baiklah, tapi saya mengajukan persyaratan. Untuk epal yang telah engkau makan, engkau harus membayarnya dengan bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa bayaran. Jadi engkau hanya akan mendapat makanan dan minuman sehari-hari sebagai upah bekerja itu. Dan untuk itu, engkau boleh menduduki gudang di sebelah itu sebagai tempat bernaungmu.”

Awalnya pemuda Tsabit  bercadang untuk membayar epal itu, tetapi pemilik kebun epal tidak mengizinkannya. Tercegat pemuda itu mendengar ucapan si orang tua. Lama ia terdiam, kacau, kalut, menimbang-nimbang. Akhirnya, setelah menghela nafas sambil beristighfar berkali-kali, ia mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Ia harus memperbaiki kesalahannya, agar dimaafkan. Tanpa berpikir panjang lagi segera ia menyetujui persyaratan yang sulit itu. Selama tiga tahun ia bekerja untuk pemilik kebun epal itu.

“Tuan, mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah, ini sudah menjadi suratan nasib saya. Kiranya Allah mengetahui apa yang terbaik bagi saya demi halalnya makanan yang masuk ke dalam tubuh saya ini.”

Akhirnya bekerjalah sang anak muda itu di kebun dan ladang lelaki tua. Dengan giat dijalani hidupnya di ladang dan kebun tersebut. Seraya selalu memohon keberkahan dalam amalan hidup yang dijalaninya.

Setelah 3 tahun berlalu, anak muda itu kemudian menemui pemilik kebun.
“Tuan, hari ini hari terakhir saya bekerja disini. Saya telah menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan Tuan.”

Pemilik kebun epal sedar, bahawa anak muda ini, yang sedang berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa. Anak muda ini telah memikat hatinya dan kerananya ia tidak akan membiarkan anak muda ini pergi begitu saja.

Pemilik kebun epal sejenak kemudian menjawab, “Tunggu dulu anak muda, masa 3 tahun sudah engkau jalani, namun saya belum dapat memaafkan. Persayaratan terakhir adalah engkau harus menikahi puteri kesayanganku. Yang perlu engkau ketahui bahawa ia tidak dapat menggerakkan tangannya, tidak mampu berjalan, tidak boleh mendengar dan tidak boleh melihat. Seandainya engkau menerimanya sebagai isteri, maka kuikhlaskan buah epal dari kebunku yang engkau makan waktu itu.”

Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat, adalah perkara yang sukar. Persyaratan ini sangat berat bagi Tsabit. Tapi hidup dengan mengabaikan suara hati nurani dan ketika kelak meninggal dan akan bertemu dengan Allah, tentunya lebih berat lagi. Tsabit merenung, begitu aneh peranannya dalam kehidupan yang telah terjadi, hanya kerana menemukan epal yang sedang menerapung di tepi sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang. Sambil memandang tanah dengan wajah pucat lesi Tsabit berkata,

“Duhai, ujian apa lagi ini ya Allah, setiap lelaki tentu mengharapkan isteri yang sempurna, secantik bidadari, bermata jeli dengan riasan mahkota permaisuri di kepalanya. Tak terbayang betapa berat semua ini.” Pilu doanya dalam hati.

Namun dia tidak ada pilihan kecuali, “Ya, saya menyetujui persyaratan Tuan, dengan begitu sebaiknya Tuan memaafkan saya.” akhirnya lelaki yang teguh memegang janjinya itu mengangguk. Di dalam setiap ujian, ada hikmah yang semoga dapat meningkatkan ketakwaannya.

Beberapa hari kemudian, Tsabit menikah dengan anak perempuan si pemilik kebun epal secara sederhana. Pada malam harinya, Tsabit pergi menuju kamar pengantin, di mana mempelai wanita telah menunggunya. Di sana ia melihat seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya. Tsabit merasa takjub dan terpinga-pinga;

“Ya Allah, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit bergegas meninggalkan kamar dan sebentar kemudian ayah wanita itu datang menghampirinya.

“Maaf, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit mencuba menjelaskan dengan wajah tersipu malu.

“Itu bukan kamar yang salah. Ia adalah anak perempuan saya.” jawab si pemilik kebun epal yang sekarang telah menjadi mertuanya.

“Saya sudah menemuinya. Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti yang Tuan ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Tuan katakan.”

Mertuanya berkata sambil tersenyum, “Anakku! Anak perempuan saya lumpuh, karena ia sampai saat ini tidak pernah memasuki tempat hiburan manapun, ia buta, karena sampai sekarang tidak pernah memandang laki-laki yang tak dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama ini tak pernah mendengar fitnah dan hanya mematuhi Al Qur’an dan kata-kata Rasululllah Salallaahu Alaihi wa Sallam.”

Subhanallah sungguh kesolehan seorang muslimah sejati. Hal Ini juga sudah jarang ditemui. Dewasa ini kita begitu sukar menemukan seorang muslimah yang “buta, bisu, tuli, dan lumpuh” dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mungkin ada, tetapi begitu sukar menemukannya. Mungkin, bagi seorang laki-laki yang menginginkan muslimah seperti ini, setidaknya harus memiliki kejujuran yang dimiliki oleh Tsabit.

Kerana alasan itulah sang pemilik kebun mempertimbangkan secara mendalam dan akhirnya mengambil keputusan menyerahkan anak perempuannya kepada Tsabit, kerana dia telah yakin bahawa Tsabit cocok  mendampinginya. Kerana takut pada sari epal yang telah masuk ke dalam perutnya, setuju untuk bekerja selama 3 tahun hanya agar kesalahannya dimaafkan.

“Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang soleh. Saya memberikan kebun epal ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.”

Setelah mendengar kata-kata itu, Tsabit segera melupakan semua kegundahan di hatinya selama ini dan pergilah ia menemui pasangan hidupnya yang berharga dan sangat dikasihinya. Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu Hanifah, yang mengajarkan dasar-dasar Mahzab Hanafi.

Tsabit telah memakan setengah buah epal, terus mencari pemiliknya meskipun harus menempuh perjalanan sehari semalam. Kemudian dia sanggup untuk menikahi anak pemilik kebun meskipun dikatakan bahawa puterinya tersebut buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Sungguh semua itu dilakukan Tsabit demi kehalalan sebuah epal. Namun kerana ‘kehalalan’ inilah dia beroleh berkah dari Allah.

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan solat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Al Fathir:29)

Petikan daripada Dakwatuna.com

2 comments:

  1. Ada yg kata cerita ni kisah ibu dan bapa shiekh abdul kadir al jilani. Mana satu yg betul?

    ReplyDelete
  2. Ada banyak versi cerita ini ... mungkin ajer ia
    nya satu rekaan ... wallahua'lam!

    ReplyDelete