Showing posts with label keluarga. Show all posts
Showing posts with label keluarga. Show all posts

Sunday 22 March 2015

Jejak Aceh - Perpustakaan Kuno Tanoh Abee

Kami telah melawat Perpustakaan Kuno ini pada 5 Jun 2014, iaitu hari keempat lawatan kami di Aceh. Lawatan ini telah mengingatkan kita bahawa Islam telah berkembang dengan pesatnya di sebelah rantau dunia ini dan ulamak-ulamaknya sangat kaya di sudut ilmu.

Petikan daripada  http://theglobejournal.com

Melihat Lebih Dekat Pustaka Kuno Tanoh Abee
Abdul Fatah | Kontributor
Sabtu, 29 Januari 2011 00:00 WIB

Seulimum, Aceh Besar - Bagi sebagian masyarakat Aceh, terutama para mahasiswa, masih banyak yang tidak mengetahui tentang Perpustakaan Tanoh Abee. Perpustakaan ini berada di Seulimum yang saat ini dikelola oleh Ummi, istri Teungku Chik Tanoh Abee. Untuk berkunjung ke perpustakaan kuno ini kita harus menempuh perjalanan yang sedikit panjang. Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, kontributor The Globe Journal bersama-sama dengan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, berhasil berkunjung ke perpustakaan kuno yang terkenal hingga ke luar negeri tersebut.

Perpustakaan Tanoh Abee atau yang disebut juga Zauyah atau Tanoh Abee adalah milik pribadi keturunan Teungku Chik Tanoh Abee Al-Fairusi Al-Baqdadi (al-Baghdadi). Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam. Seperti ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf, ilmu Ibadah, ilmu Penciptaan Alam Semesta dan masih banyak ilmu-ilmu yang dibahas lainnya.

Perpustakaan ini sudah ada sejak abad 16 M. Uniknya dari perpustakaan ini adalah pesan Abu Tanoh Abee yang diteruskan oleh pihak keluarga, yaitu tidak membolehkan para muslimah untuk melihat kitab-kitab yang ada di dalam perpustakaan tersebut.

“Begitulah amanah abu kepada kami,” kata Umi yang diiyakan oleh seorang santri ketika kami mencoba menanyakan maksud dari larangan tersebut.

Semasa perang Aceh melawan Belanda yang berkecamuk dari tahun 1873-1913 M, Dayah (disebut juga Zauyah) Tanoh Abee tersohor sebagai salah satu tempat konsentrasi laskar Aceh. Di dalam dayah ini tersimpan banyak karya-karya klasik ulama-ulama nusantara bahkan Timur Tengah, yang semuanya itu disalin kembali oleh Abu Tanoh Abee. Manuskrip-manuskrip kuno itu berjumlah 6000 judul kitab.

“Sebagiannya ada yang dicuri oleh Belanda ketika perang berkecamuk, rusak akibat tersimpan lama di gua saat kitab-kitab ini disimpan untuk menjaga agar kitab-kitab tersebut tidak dicuri atau dibakar oleh Belanda, dan banyak juga yang terbakar akibat perang,” kata santri yang memandu kami masuk ke dalam perpustakaan kuno tersebut.

Umi kembali menjelaskan bahwa sebagian kitab ini juga sempat berada di sebuah dayah di Bitai, namun, akibat tsunami 2004 silam, kitab-kitab kuno itupun lenyap disapu gelombang tsunami. “Ada juga sebahagiannya dikubur oleh Abu (panggilan untuk Teungku Chik Tanoh Abee-red.), karena takut isi kitab-kitab tersebut dipelajari atau diamalkan oleh masyarakat awam (karena isinya sangat tidak mampu dipahami oleh manusia biasa,bisa menyebabkan murtad-red).”

Menurut catatan yang ada, saat ini manuskrip-manuskrip kuno ini dijaga dan dirawat oleh generasi ke sembilan Keluarga Al-Fairusi. Namun, sebenarnya ada juga karya-karya baru yang berada di perpustakaan ini. Manuskrip-manuskrip kuno ini sebenarnya tidak untuk dipelajari namun hanya dijadikan sebagai koleksi. Dan hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan dibaca. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan yang juga digunakan sebagai tempat pengajian tersebut.

Lantas, kenapa karya-karya ulama itu tidak boleh dibaca bahkan dipegang oleh orang lain?
Menurut istri Abu, atau akrab dipanggil oleh masyarakat sekitar sebagai Umi ini, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. Bahkan, ada kitab-kitab yang berada satu lemari di dalam perpustakaan itu yang tidak boleh dirawat atau dibersihkan oleh keluarga beliau. 


“Pernah suatu hari, datang seorang peneliti asing ke rumah. Peneliti tersebut ingin melihat sendiri kitab-kitab berbahasa Arab yang menjadi koleksi Teungku Chik Tanoh Abee tersebut. Namun, setelah selesai membaca salah satu kitab tersebut, si peneliti tersebut terheran-heran dengan isi kitab tersebut, yang diluar batas ilmunya. Peneliti itupun akhirnya kagum terhadap kitab tersebut,” jelas Umi panjang lebar dengan logat melayunya yang khas.

Saat ini kitab-kitab ini sudah ditangani oleh pihak PKPM dan sebuah lembaga yang berada di Jepang. Oleh pihak Jepang, demi menjaga manuskrip-manuskrip kuno ini, kitab-kitab tersebut dibawa ke Jepang untuk disalin dan dicetak kembali tanpa mengubah isi untuk menjaga dari termakan oleh usia dan rayap.

Seperti dikatakan oleh Umi, di Zauyah ini banyak terdapat karya-karya ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Karya-karya klasik yang tersimpan disini antara lain milik Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nurruddin ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili (Teungku Syiah Kuala), Al-Ghazali dan lain sebagainya.



Notis larangan yang dikenakan ke atas wanita
Pustaka Tanoh Abee - di atas pintu tertulis......
"Dilarang masuk wanita tanpa izin"
Dengan larangan-larangan yang dikenakan ke atas wanita seperti di atas, dilihat seolah-olah zauyah ini 'anti-wanita', tetapi 'fatwa' yang dikeluarkan mungkin berasaskan kefahaman tertentu dan sudah pastinya ia adalah hasil pandangan ulamak ketika itu dan dijadikan 'wasiat' turun-temurun. Namun orang yang bertanggungjawab ke atas perpustakaan keluarga ini sekarang ialah seorang wanita yang dipanggil Ummi atau Hjh Rumani, iaitu isteri kepada almarhum Tgk. Haji Muhammad Dahlan (pemilik Dayah Tanoh Abee),yang meninggal pada tahun 2006.

Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi merupakan ulamak generasi kesembilan dari keturunan langsung Sheikh Fairus, yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Sheikh Fairus sendiri adalah seorang ulamak Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya. Hampir 400 tahun sudah umur dayah dan perpustakaan ini.

Tidak banyak yang dapat dilihat di sini kecuali bangunan tinggalan sejarah. Buku-bukunya langsung tidak dapat dilihat mengikut kata suami, yang dapat masuk melihat ke dalam perpustakaan. Semua buku sudah dibungkus dengan rapi dan dilabel "United Nation". Mungkin mereka sedang dalam proses kerja-kerja memelihara dan menyelamat buku-buku tersebut dari kerosakan. Tidak dibenarkan mengambil gambar di pustaka ini dan diharamkan juga merokok di sini.

 Larangan merokok  terpampang jelas pada notis yang ditampal di salah satu tiang bangunan pustaka. Walau pun begitu, merokok dibenarkan di kawasan lain dalam dayah/zauyah ini, tetapi sebeluim ini ianya tidak dibenarkan juga oleh Abu (panggilan kepada Tgk. Haji Muhammad Dahlan). Tidak mahu pula diwarisi larangan yang 'sihat' ini.

 Pustaka ini sering dipergunakan para santri/murid untuk solat dan berzikir. Daripada maklumat dalam internet yang terkini, di pustaka ini terdapat empat almari berwarna coklat muda di dalam bangunan tersebut. Masing-masing almari ini memiliki dua daun pintu. Di dalam keempat almari ini tersusun ratusan kitab tulisan tangan karya pengasas Dayah Tanoh Abee.

gambar Google - almari yang memenuhi kitab-kitab lama
gambar Google - .contoh kitab lama
Di ruang pustaka tersebut juga terdapat makam milik Teungku Chiek Tanoh Abee Al Fairusi Al Bagdadi. Selain itu, di pustaka ini juga terdapat dua makam putra Teungku Chik Tanoh Abee yang juga ulama besar di dayah tersebutNamun makam-makam ini diselindung daripada para pengunjung pustaka dengan papan tebal sehingga tidak ada yang sedar keberadaan makam di sebalik papan.

Nak tengok perpustakan dah tak dapat.....jom le tengok-tengok apa yang ada dalam kompleks dayah ini.

Di kompleks dayah ini ada beberapa bangunan lama dan baharu yang terbiar. Bangunan yang lama sudah pasti terbiar kerana keuzurannya tetapi yang baharu pula terbiar kerana pembinaan yang ala kadar sehungga tidak membolehkan ia berfungsi sebagaimana dirancang. Ada sebuah bangunan tersergam indah dan menarik di sini iaitu rumah tradisional Aceh yang selalu disebut Rumoh Aceh.





Rumah Adat Aceh ..... di perkarangan dayah
Bangunan baharu (putih)  terbiar kosong kerana mengalami kerosakan....
satu "pembangunan yang disebut-sebut asal jadi"
Kami menaiki dan masuk salah satu bangunan kayu lama yang terdapat di perkarangan dayah. Ia kelihatan seperti balai mengaji. Berhampiran ada lagi sebuah bangunan lama yang bertanda sebagai perputakaan kuno. Ia mungkin digunakan sebagai  perpustakaan pada zaman dahulu.

Gambar-gambar tokoh seperti Sultan Iskandar Muda dan Cut Nyak Dien
dilekatkan di luar dinding bilik




Info di dinding bangunan menyebut ......perpustakaan kuno....   

Berdekatan dayah ini juga dikatakan ada kawasan perkuburan atau Jirat Putih. Jirat menurut sebutan orang Acheh membawa erti kawasan perkuburan. Di sinilah letaknya makam Sheikh Fairus Al-Bagdadi tetapi kami tidak mengunjunginya. Juga dikatakan ada mehrab di makam tersebut.



Jejak Aceh - 10 Tahun Pasca Tsunami (Day 2 - part 1)

Jejak Aceh - Pantai Lampuuk- Masjid Rahmatullah Lhoknga

Jejak Aceh - 10 Tahun Pasca Tsunami (Day 2 - part 2)

Jejak Aceh - 10 Tahun Pasca Tsunami (Day 2 - Part 3)

Jejak Aceh - 10 Tahun Pasca Tsunami (Day 3)

Jejak Aceh - 10 tahun Pasca Tsunami ( Day 4 )

Jejak Aceh - 10 tahun Pasca Tsunami ( Day 5 )

Jejak Aceh - 10 tahun Pasca Tsunami ( Day 6 )

Hujung Dunia - KM 0 (Zero) Sabang

Friday 13 March 2015

Jejak Aceh - 10 Tahun Pasca Tsunami (Day 3)

Day 1 - 2/6/2014
Destinasi lawatan di hari pertama:

1 Masjid Raya Baiturrahman
2 Kapal PLTD Apung
3 Kapal Apung Lampulo
4 Makam Syiah Kuala

Day 2 - 3/6/2014
Destinasi lawatan pada hari kedua:

1 Taman Sari Gunongan
2 Masjid Teuku Omar
3 Muzium Rumah Cut Nyak Dien
4 Pantai Lampuuk Lhoknga
5 Masjid Rahmatullah Lampuuk
6 Masjid Baiturrahim Ulee Lheue
7 Pelabuhan Ulee Lheue
8 Kuburan Massal Ulee Lheue
9 Lapangan Blang Padang
10 Muzium Aceh
11 Pasar Aceh

Day 3 - 4/6/2014
Destinasi lawatan pada hari ketiga - Pulau Weh   

1. Tugu Kilometer Nol
2. Pantai Iboih
3. Pantai Gapang
4. Gerai Rojak Pulau Klah
5. Masjid Jamek Kota Sabang
6  Pantai Sumur Tiga
7. Sabang Hill
8. Kota Sabang
9. Taman Wisata Kuliner

4/6/20
Pulau Weh atau lebih dikenali sebagai Pulau Sabang bagi penduduk tempatan, terletak di sebelah barat Aceh. Dikatakan nama "Weh" itu berasal daripada huruf "W" yang menyerupai bentuk pulau itu. Dari Banda Aceh ke Pulau Weh perlu melalui jalan laut. Ada 2 jenis perkhidmatan pengangkutan laut untuk ke sana, iaitu Kapal Express dan Kapal Feri dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Balohan, Sabang. Kapal express lebih dikenali sebagai 'kapal cepat' manakala kapal feri pula dikenali sebagai 'kapal lambat'.

Kedudukan Pulau Weh (Sabang) dari Banda Aceh
Empat kapal cepat milik dari dua perusahaan, iaitu PT Pelnas Kurnia Sentosa dan PT Pelayaran Sakti Inti Makmur, setiap hari akan belayar dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, ke Balohan, Sabang atau sebaliknya,  dengan tempuh perjalanan 45 minit. Kapal cepat hanya membawa penumpang sahaja. Feri atau kapal lambat pula dikendalikan oleh pihak ASDP (Angkatan, Sungai, Danau dan Penyeberangan) yang mengangkut penumpang dan juga kenderaan dengan tempuh perjalanan antara 1,5 - 2 jam.

Kapal cepat melakukan 2 kali perjalanan dalam sehari iaitu pagi dan petang. Kapal lambat hanya  sekali sehari pada sebelah petang. Harga tiket dan waktu bertolak ada sedikit perbezaan antara 2 syarikat pengendali kapal cepat ini. Kadang-kadang jadual bertolak juga ditunda kerana cuaca yang kurang baik yang boleh membahayakan pelayaran.

gambar Google - salah satu daripada 4 kapal cepat
Pagi ini selepas sarapan, terus check out dari hotel. Jam 8.00 pg kami sudah bertolak ke Pelabuhan Ulee Lheue untuk memastikan kami mendapat tiket yang murah. Harga yang paling rendah adalah untuk kelas bisnes iaitu Rp 65.000 (RM 22.00 - satu hala) dan mengikut maklumat dalam internet, jumlah tiket yang dikeluarkan terhad. Itulah sebabnya mengapa tiket ini tidak boleh dibeli lebih awal (cuba membelinya petang semalam tetapi tidak dibenarkan), agar berlaku adil kepada bakal penumpang ...... siapa cepat dia dapat!

Pada malam sebelumnya kami telah mengemas semula beg pakaian dan barang-barang yang baharu dibeli kerana kami akan membawa hanya keperluan untuk satu malam sahaja ke Sabang. Ini untuk mengelak membawa beg besar dan barang-barang yang tidak diperlukan ke sana. Kami telah meninggalkan beg-beg tersebut bersama Pak Iskandar dengan persetujuannya kerana esok paginya dia akan menjemput kami semula di pelabuhan untuk ke destinasi seterusnya iaitu Kota Lhouksomawe.

Jadual perjalanan dan harga tiket untuk
Kapal Express Bahari
Tiket kapal cepat ...... 'pulang dan pergi'
Alhamdulillah, kami berjaya mendapat tiket yang paling murah. siap beli yang pergi-balik dan kapal dijangka bertolak pukul 9.30 pg. Lama jugalah kami menunggu kapal hari itu tetapi apa nak buat, terpaksa datang awal untuk mendapat tiket yang murah demi menjimatkan bajet percutian. Sambil menunggu, cameraman kami pun mengeliklah di sana sini dalam bilik menunggu.

Suasana di bilik menunggu.......satu penantian yang lama
Usahawan muda kami......sempat menalipon
 menguruskan bisnes di Malaysia sambil menunggu

Banyak maklumat ada di sini yang dapat membantu
para pelancong berwisata dengan lebih baik
Akhirnya bergerak ke jeti
Perlu menunggu lagi .....
Termenung kerana cuaca kurang baik .... hujan!
Akhirnya......bergerak masuk ke kapal

Hmm......masing-masing nak berselfie dalam kapal
Pagi itu hujan, sangat berbeza dari hari sebelumnya yang panas terik. Keadaan ini membuat kami sedikit gusar kerana sudah pasti ia akan berterusan di Sabang dan memberi kesan kepada agenda lawatan kami di sana nanti. Kami hanya mampu berdoa agar hujan tidak berterusan sepanjang hari.

Walau bagaimanapun cuaca ini memberi kesan kepada perjalanan kapal pagi itu. Laut bergelora dan ada ketikanya kapal dilambung ombak yang kuat, sehingga membuat suami dan saya 'kecut perut' dan berdebar-debar. Macam-macam bermain dalam fikiran! Usahawan muda kami dan kakaknya terus mabuk laut......satu keadaan yang tidak dijangkakan. Nasib baik mereka duduk berhampiran dengan tandas.....mudahlah mereka melepaskan isi perut (muntah) masing-masing.

Alhamdulillah.....akhirnya kami tiba dengan selamat di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh kira-kira pukul 10.25 pg. Sebaik keluar dari jeti kami telah dikejar pengendali-pengendali kereta sewa. Mereka bersaing mencari pelanggan yang ramai tiba. Kami biarkan mereka mengekori kerana kami perlu berhenti sebentar sebelum berurusan mencari kereta sewa.

 Hari masih hujan tetapi tidaklah lebat. Selepas keluar dari jeti dan beroleh tempat duduk baharulah kami melayan salah seorang daripada pengusaha kereta sewa. Setelah berlaku tawar menawar kami pun bersetuju menyewa sebuah kereta Kijang lama tetapi masih berkeadaan baik dengan harga yang berpatutan......450 ribu rupiah termasuk supir dan benzin sehari. Perlu diingat maksud sehari di sni (Aceh) hanyalah untuk 12 jam. Semasa di Banda Aceh kawan Pak Iskandar ada offer kereta 650 ribu tetapi kami menolaknya kerana terlalu mahal, walaupun kereta yang ditawarkan mungkin model baharu.

Tawar-menawar berlaku ...... bersetuju dengan harga Rp 450,000
 Setelah selesai berurusniaga, kami pun dibawa ke kereta ...... oppss! Alangkah terkejutnya kami bila disuruh naik sebuah van buruk........??...."Bukan Pak, ini bukan mobilnya" Hahh!....lega, takut tersiilap bahasa, tersilap faham. Rupanya mobil yang dipersetujui diparkir di rumah tuannya. Mereka hanya 'orang tengah' yang mencari pelanggan. Jadi kami harus dibawa ke sana terlebih dahulu dengan menaiki van buruk ini.

Van uzur yang padat.....lihat berapa orang berada di hadapan?
SubhanaAllah......4 orang dewasa di tempat duduk hadapan
Kereta yang dipersetujui......jenis lama tetapi masih berkedaan baik,
selesa dan air-condnya berfungsi baik 
Kami sangat berpuashati dengan kereta yang diberi. Supir kami bernama Mas Har. Dia juga banyak membantu merancang aktiviti kami hari itu. Kami akan berada di Pulau Weh selama satu hari satu malam sahaja dan kami perlu memenuhinya dengan agenda yang menarik. Dengan cuaca yang tidak begitu baik dan masa yang singkat kami tidak merancang ke destinasi yang tertentu kecuali ke Tugu Kilometer Nol. Inilah tujuan utama kami ke Sabang ..... untuk sampai ke tanah hujung!

Ketika di Malaysia lagi kami telah menalipon Hotel Citra menempah bilik yang kami kehendaki. Namun malang apabila tiba di hotel ini tempahan kami tidak dicatit dan 'family room' yang ditempah tiada lagi yang kosong. Mungkin ini berlaku kerana masalah komunikasi ..... masalah bahasa dan juga sikap pekerja yang tidak peka. Walau bagaimana pun pihak hotel menawarkan 2 buah bilik medium dengan harga sedikit diskaun. Kami menerimanya kerana malas hendak mencari lagi di tempat  lain.

200 ribu (RM 70)  sebilik


Brosur hotel yang lengkap dengan maklumat
Kami bercadang keluar semula sebaik selesai urusan check in, tetapi hujan turun dengan lebatnya sebelum sempat berbuat demikain  Terpaksalah kami menunggu di lobi hotel dan berdoa agar hujan berhenti supaya kami boleh meneruskan aktiviti lawatan hari itu. Alhamdulillah, tidak lama kemudian hujan mula berhenti dan kami dapat meneruskan agenda pertama hari itu ..... mengisi perut yang sudah mula lapar kerana sudah hampir waktu tengahari. Makan siap-siap kerana lepas itu kami akan ke Tugu Kilometer Nol.

Mas Har menanya ksmi samada mahu makan masakan Padang atau Aceh. Kami sebulat suara memilih masakan Aceh. Dia pun membawa kami ke kedai makan Perkasa. Dalam banyak lauk-pauk yang dipamerkan depan kami, ada satu yang menarik perhatian saya iaitu Gule Pli' U. Kenapalah agaknya, ya? ..... Makanan khas Aceh ini dibuat dari berbagai macam sayuran yang dimasak dengan bumbu yang khas iaitu Pli' U (kelapa yang telah dibusukkan). Hehehe.....selalunya kelapa busuk dibuang sahaja!

Gule Pli'- U..... sedap jugak!
Lukisan yang menghiasi dinding kedai makan
Mas Har tidak join kami makan sekali ....
berbeza dengan Pak Iskandar
Lebih kurang pukul 12.35 selepas selesai makan, kami bertolak ke Kilometer Nol. Perjalanannya sangat mencabar - berliku-liku naik bukit. Kiri-kanan jalan, hutan. Hari masih hujan tetapi tidak lebat. Keadaan ini menambahkan lagi kerisauan saya sepanjang perjalanan ini. Kemudian anak bujang yang mabuk laut pagi tadi rupanya belum habis lagi mabuknya ..... disambung pula dalam perjalanan yang berliku-liku ini. Terpaksa berhenti kenderaan untuk mengeluarkan makanan yang belum pun sempat dihadam.

Ketika suami berbual-bual dengan Mas Har, dia bertanya jika Sabang banyak terjejas ketika berlaku tsunami. Mengikut ceritanya, ada terkena tsunami tetapi tidak teruk kerana kebanyakan penempatan  di sini berada di tempat tinggi. Jadi di sini tidak ada satu monumen pun yang dibina bagi mengingati tsunami seperti di Banda Aceh.

Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di KM Nol dengan selamat dan hujan juga telah berhenti. Ikuti coretan selanjutnya di sini....


Selepas setengah jam berada di sini kami meninggalkannya dengan satu kepuasan.....kami berjaya sampai ke tanah paling barat di Indonesia....yeah! Dalam perjalanan balik ke Kota Sabang, Mas Har membawa kami ke beberapa lokasi yang menarik. Tempat pertama yang disinggah ialah Pantai Iboih (baca: Iboh) atau nama sebenarnya secara resmi “Teupin Layeu” tetapi lebih dikenali sebagai Pantai Iboih.

Tidak jauh dari pantai ini ialah Pulau Rubiah yang menjadi pusat aktiviti snorkling dan diving. Ia juga dikenali sebagai 'syurga taman laut' di kalangan para pencinta alam. Dikatakan taman laut di persekitaran pulau ini lebih cantik daripada yang terdapat di Pantai Iboih. Kami ke sini hanya untuk menikmati keindahan alam ciptaan  Allah dan bergambar dengannya sebagai kenangan-kenangan, walaupun cuaca pada petang itu mendung sahaja.Tiada masa untuk aktiviti lain.






 Pada era 60-an pulau ini juga dikatakan mempunyai nilai yang sangat penting untuk masyarakat Islam di Aceh yang akan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di pulau ini dahulu dibangunkan asrama haji pertama dan juga terdapat pelabuhan khusus untuk kapal-kapal yang berangkat membawa jamaah haji.

Di Pantai Iboih terdapat banyak perahu milik penduduk yang dapat disewa untuk mengelilingi pulau atau untuk sekadar melihat titik-titik (spots) untuk menerawang keindahan bawah laut di sekitar Pulau Rubiah,dengan menggunakan perahu khas seperti akuarium. Di sini juga ada tempat menyewa peralatan untk aktiviti snorkeling dan menyelam.




 Seterusnya Mas Har membawa kami ke Pantai Gapang. Seperti Pantai Iboih, Pantai Gapang juga sangat indah dengan pasirnya yang putih dan laut yang cantik serta alam semulajadi ciptaan Allah. Kegiatan berenang, snorkling dan menyelam juga boleh dibuat di pantai ini kerana lautnya yang jernih, biru dan sangat bersih. Kali ini ahli keluarga yang lelaki turun ke laut ..... melepaskan gian mandi laut.











Sekitar jam 3.30 petang kami tinggalkan Pantai Gapang. Syukur alhamdulillah,  suami dan anak-anak lelakinya sempat menikmati kecantikan dan kebersihan air laut Sabang. Hentian seterusnya ialah gerai di pinggir jalan yang menjual rojak buah Pulau Klah yang terletak  di Puncak Krueng Raya. Pulau Klah terletak di Teluk Sabang bertentangan lokasi gerai.

Selain terkenal kelazatannya, yang menjadi daya tarik rojak Pulau Klah adalah pemandangan terus menuju Pulau Klah dengan hamparan laut yang berwarna hijau dan biru. Disebabkan itulah rojak ini disebut sebagai rojak buah Pulau Klah walaupun tidak berada di Pulau Klah. Sambil menikmati kelazatan rojaknya, kita juga boleh menikmati sajian indah alam Kota Sabang. Jika cuaca baik, paparan lautan dan gunung serta pulau Klah nampak seperti lukisan di atas kanvas. Namun hari ini cuaca mendung....sepagian hujan. Tempat ini juga menjadi tumpuan pencinta alam menghayati dan merakam detik suasana ketika matahari terbenam. Kami berada di sini lebih kurang pukul 4 petang.





Hai......menunggu rojak?


Hai....sepiring jer?...... testing!
Rojak Pulau Klah
gambar Google - kalau berada di waktu senja......
Setelah selesai sesi bergambar dan 'merasa' keenakan rojak Pulau Klah, kami meneruskan perjalanan ke Kota Sabang. Kami harus menunaikan solat jamak-qasar Zohor-Asar. Oleh kerana itu destinasi seterusnya sudah tentulah ke masjid. Mas Har membawa kami ke Masjid Jamek Kota Sabang.



Masjid Jamek Kota Sabang
Selesai solat kami dibawa keluar kota lagi. Kali ini kami ke bahagian timur Pulau Weh iaitu Pantai Sumur Tiga. kira-kira 15 minit dari Kota Sabang. Ia terletak di Kecamatan Ie Meule, Sukajaya, Sabang. Pantai ini akan memukau sesiapa pun yang mengunjunginya. Pantai ini diberi nama Sumur Tiga karena memiliki tiga sumur atau perigi air tawar yang terdapat di sepanjang pantainya.

Pantai Sumur Tiga adalah pantai berpasir putih dan bertekstur lembut dengan garis pantai yang sangat panjang. Kemungkinan ia adalah pantai dengan garis pantai yang paling panjang yang ada di Kota Sabang. Pasir di Pantai Sumur Tiga lebih putih berkilau bak kristal dan lembut jika dibandingkan dengan pasir di Pantai Iboih atau Pantai Gapang.

Pantai jernih dengan air laut berwarna biru kehijauan adalah pemandangan yang sangat menenangkan jiwa. Apa yang tersaji di sini adalah perpaduan keindahan dan kedamaian yang mempersonakan, menghadap  ke lautan Selat Melaka sejauh mata memandang. Oleh kerana pantai ini mengadap timur, ia juga menjadi tempat pencinta alam menikmati detik ketika matahari naik atau sunrise di waktu pagi.

Sekarang sesi bergambar! Nak main air sudah tidak ada masa......hehehe....

Pantai...nun jauh ke bawah!...perlu berhati-hati
menuruni anak-tangga  yang banyak





Ni salah satu daripada 3 sumur

Ni anak tangga menuju ke pantai
Di Aceh memang banyak amaran seperti ini
 mengingatkan pemuda-pemudi agar tidak berpacaran
Sekitar jam 5 petang kami dibawa balik semula ke Kota Sabang. Hari sudah lewat petang dan perut pula sudah mula lapar. Sebelum mencari makan kami dibawa ke satu lagi lokasi yang sangat menarik untuk sesi bergambar, iaitu Sabang Hill yang merupakan puncak tertinggi di Kota Sabang.

 Dari sini kita boleh melihat Teluk Sabang dengan panorama yang menakjubkan. Bagi yang ingin melihat matahari terbenam. di sinilah tempatnya di mana matahari dilihat terbenam dengan sangat sempurna. Bulatan matahari tenggelam ke dalam laut nampak indah sekali. Matahari seperti tenggelam di antara hujung semenanjung Sabang dan Pulau Klah. Kami tidak berkesempatan untuk menyaksikannya kerana kesuntukan masa. Lagi pun hari itu cuaca agak mendung seharian. Matahari menyorok di sebalik awan.

gambar Google - sunset at Sabang Hill

Di sabang Hill pengunjung dapat duduk di kerusi-kerusi yang disediakan oleh pihak hotel. Jika ingin lebih romantik, boleh sahaja duduk-duduk di atas rumput di antara pohon pinus dan kelapa, Di belakang lokasi ini terletak bangunan Hotel Sabang Hill. Terasa sungguh nyaman duduk bersantai di sini sambil menikmati keindahan alam ciptaan Allah.








gambar Google - Hotel Sabang Hill

Di balik namanya, Hotel Sabang Hill memiliki rakaman sejarah tersendiri tentang Kota Sabang dan keindahan Alamnya. Berdiri tegak sejak 1920, hotel ini awalnya merupakan sebuah bangunan milik Belanda yang dibina khusus sebagai tempat komunikasi kabel atau telegram. Pada masa itu komunikasi tersebut hanya dapat dilakukan dari Sabang Hill kerana lokasinya dapat menjangkau kawasan Teluk Sabang. Ketika itu Teluk Sabang dipenuhi oleh kapal dagang dari seluruh pelosok dunia.

gambar Google - Teluk Sabang zaman dahulu
 Sejak itu Sabang Hill menjadi lokasi yang sering dilawati bagi mereka yang berkunjung ke Sabang. Ini kerana lokasinya berada tepat di dataran tinggi Teluk Sabang dan ia menghamparkan  pemandangan keindahan alam yang sungguh mempesonakan.

Setelah puas bergambar, akhirnya kami ke Kota  Sabang mencari kedai makan. Niat di hati nak cuba makan mi Aceh tetapi habis pula petang itu. Sebaliknya kami ditawar mi Pingsun. Hmm.....not bad rasanya! Kalau duduk lama bolehlah mencuba semua makanan khas Sabang dan Aceh. Mi Jalak yang menjadi identiti Sabang pun tidak sempat dicuba.

Mi Pingsun.....dimakan bersama kopi Aceh
perghh.....sungguh enak!
  Hari sudah semakin gelap. Badan juga sudah mula terasa letih. Selepas makan, anak-anak meninjau ke kedai-kedai berdekatan, mencari apa yang patut untuk dibawa balik sebagai buah tangan. Di Sabang ini ada satu hal yang menarik. Kedai-kedainya akan tutup dari pukul 12.00 tengahri sehingga 16.00 petang. Setelah selesai berbelanja dan sebelum balik ke hotel, kami ke Taman Wisata Kuliner terlebih dahulu untuk mencari sate gurita.





Sate Gurita Sabang......sedang dibakar
Sate ini tidak dimakan di sini tetapi dibungkus untuk dibawa balik ke hotel. Inilah makan malam kami nanti. Terasa malas hendak keluar lagi apabila sudah balik ke hotel. Esok pagi kami harus bangun dan bersiap awal untuk ke pelabuhan kerana sudah beli tiket kapal bertolak balik ke Banda Aceh sebelah pagi.

Sehingga di sini sahaja coretan saya untuk hari ini. InsyAllah kita jumpa  esok (Day 4) di lain entri.



Jejak Aceh - 10 Tahun Pasca Tsunami (Day 2 - part 1)

Jejak Aceh - Pantai Lampuuk- Masjid Rahmatullah Lhoknga

Jejak Aceh - 10 Tahun Pasca Tsunami (Day 2 - part 2)

Jejak Aceh - 10 Tahun Pasca Tsunami (Day 2 - Part 3)

Jejak Aceh - Perpustakaan Kuno Tanoh Abee

Jejak Aceh - 10 tahun Pasca Tsunami ( Day 4 )

Jejak Aceh - 10 tahun Pasca Tsunami ( Day 5 )

Jejak Aceh - 10 tahun Pasca Tsunami ( Day 6 )

Hujung Dunia - KM 0 (Zero) Sabang