Showing posts with label sya'aban. Show all posts
Showing posts with label sya'aban. Show all posts

Friday 23 July 2010

SERBA SERBI SHA'ABAN

Hari ini 10 Sya'aban 1431 H. Lebih kurang 20 hari dari sekarang umat Islam di seluruh dunia akan menyambut bulan Ramadan yang mulia. Dalam tempoh  inilah kita cuba mempersiapkan diri dan keluarga agar bersedia menjalani ibadah puasa yang akan datang - dari sudut  mental dan fizikal. Biarlah ibadah puasa kita di tahun ini lebih baik daripada tahun-tahun yang sebelumnya.

Sya'aban adalah di antara beberapa bulan yang mulia dalam Islam. Kadang-kadang ada amalan-amalan yang dibuat tidak menuruti sunnah Nabi SAW. Di sini saya turunkan satu artikel yang diterima melalui emel, iaitu amalan-amalan sunnah di bulan Syaaban. Semoga apa yang tercatit menjadi hujah kepada amalan kita dan bukan kerana ikut-ikutan semata-mata.

Marilah kita sama-sama berdoa supaya dipanjangkan umur agar kita dipertemukan dengan Ramadan  al-mubarak yang akan datang. Doanya seperti di bawah:




Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban.  Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).

Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban

Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun tidak berpuasa sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.”

(HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.”

(HR. Muslim no. 1156).

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.”

(HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:

  1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu.

  2. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a

Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas (majoriti) ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).

Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah -mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat (rojih). Adapun sanggahan untuk pendapat yang mengatakan bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian di rumah tidaklah terlarang adalah sebagai berikut.

Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang menganjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).

Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)

Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).

Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)

Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.”

“Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim)

Tatkala Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. (HR. Muslim no. 1144) Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (

Puasa Setelah Pertengahan Sya’ban

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.”

(HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)

Dalam lafazh lain,

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya. Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ’Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082)

Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.

Al Atsrom mengatakan, Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

At Thahawiy mengatakan bahwa mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut. Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)

Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:

Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri.


Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)

Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan? Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan. Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib Ramadhan dan puasa sunnah di bulan Sya’ban. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)
Demikian pembahasan singkat kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.

[Muhammad Abduh Tuasikal]

Thursday 13 August 2009

Amalan Bida'ah di Bulan Sya'aban


jemaah

Hari ini 22 Sya'aban 1430 Hijrah bersamaan 13 Ogos 2009 . Minggu lepas banyak masjid dan surau di sekitar Johor mengadakan majlis khas sempena 'Nisfu Sya'aban' iaitu bersamaan 15 Sya'aban. Ada yang menamakannya sebagai Majlis Yasin Perdana, ada pula yang memanggilnya Majlis Tahlil Khas dan seumpamanya. Mereka berhimpun selepas solat maghrib.



Mereka membaca surah Yasin dan solat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca doa yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi‘in dan tabi’ tabi‘in). Ia satu doa yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan sunah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya. Ini adalah di antara beberapa amalan yang dilakukan pada malam tersebut.

Sebenarnya hadis sahih mengenai keutamaan malam Nisfu Syaaban itu memang ada, tetapi amalan-amalan tertentu khas pada malam tersebut adalah palsu. Hadis yang boleh dipegang dalam masalah Nisfu Syaaban ialah:

“Allah melihat kepada hamba-hamba- Nya pada malam Nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) " (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain)

Al-Albani mensahihkan hadis ini dalam Silsilah al-Ahadis al-Sahihah. (jilid 3, m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma‘arf, Riyadh).

Hadis ini tidak mengajar kita apakah bentuk amalan malam berkenaan. Oleh itu, amalan-amalan khas tertentu pada malam tersebut bukan dari ajaran Nabi s.a.w.

Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam menjawab soalan berhubung dengan Nisfu Syaaban:

“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam Nisfu Syaaban, membaca doa tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.”

Perhimpunan (malam Nisfu Syaaban) seperti yang disebut di atas adalah bidaah. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas.

Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bidaah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bidaah, dan setiap yang bidaah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka. (Dr. Yusuf al-Qaradawi, fatawa Mu‘asarah jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut).

Namun demikian,  ini bukanlah bererti malam tersebut tidak mempunyai kelebihannya. Bahkan, terdapat hadis-hadis thabit yang menyebut akan fadilat dan kelebihannya, tetapi tidak dinyatakan tentang amalan ibadah khas yang perlu dilakukan. Maka sebarang ibadah yang dilakukan pada malam tersebut tidak boleh disandarkan dengan mana-mana hadis atau pun menganggapnya mempunyai kelebihan yang khas dan tidak juga dilakukan secara berjemaah.

Hal ini telah disebut al-Imam al-Suyuti:

"Dan pada malam Nisfu Syaaban itu padanya kelebihan, dan menghidupkannya dengan ibadah adalah digalakkan, tetapi hendaklah dilakukan secara bersendirian bukan dalam bentuk berjemaah.'' (Rujuk: al-Suyuti, al-amru bi al-ittiba' wa al-nahyu an al-ibtida' (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1998), hal 61) b)

Amalan-amalan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada bulan Sya'aban hanyalah amalan-amalan biasa seperti membaca Quran, berzikir , berdoa dan mengerjakan solat sunat. Hanya beliau memperbanyakkan puasa sunat pada bulan ini seperti yang disebut dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasaai dan Abu Daud, disahihkan Khuzaimah daripada Usamah bin Zaid katanya:

"Aku bertanya Rasulullah SAW: Ya Rasulullah! Aku tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan berbanding bulan lain seperti engkau berpuasa daripada sebahagian Syaaban. Baginda bersabda: Itulah bulan yang manusia melupakannya antara bulan Rejab dan Ramadan, iaitu bulan yang diangkat amalan kepada Allah, Tuhan semesta alam. Oleh itu, aku suka supaya amalanku diangkat ketika aku sedang berpuasa." (Hadis riwayat al-Nasaai)

Mengikut sunnah Nabi, Aishah RA meriwayatkan bahawa Rasulullah berpuasa di kebanyakan hari dalam Sha'aban, tetapi beliau berhenti berpuasa apabila menjelang tibanya Ramadhan. Adalah lebih baik kita melakukan amalan sunat berpuasa sebanyak-banyaknya sebelum nisfu Sya'aban dan berhenti berpuasa  selepas nisfu Sya'aban, kecuali puasa ganti dan sebagainya.

Melalui amalan ini Rasulullah SAW ingin memberitahu kepada kita bahawa kita digalakkan mempersiapkan tubuh badan kita untuk menghadapi puasa Ramadhan di awal Sya'aban. Namun sebelum tiba Ramadhan, badan harus dirihatkan dari berpuasa seketika sebagai persediaan untuk berpuasa terus menerus selama sebulan di bulan Ramadhan. Ini juga adalah untuk membezakan antara puasa di bulan Syawal yang hanya dianggap sebagai latihan dan puasa yang dituntut di bulan Ramadhan. Itulah hikmahnya tidak dilakukan puasa Sya'aban terus-menerus bersambung dengan puasa Ramadhan.

Catitan:
Dari koleksi emel group