Showing posts with label hukum fiqh. Show all posts
Showing posts with label hukum fiqh. Show all posts

Friday 15 October 2010

The King and I

Al-kisah.....pada suatu hari hamba telah dijemput ke Istana untuk menyaksikan penganugerahan pingat-pingat kebesaran oleh Raja dari salah sebuah negeri di Malaysia. Maka pada hari itu hamba melihat betapa ramainya manusia (lelaki dan perempuan) yang begitu senang dan gembira sekali mencium tangan Raja ketika bersalam. Entah kenapa jauh disudut hati kecil hamba ini terasa sangat tidak tenteram dengan apa yang dilihat. Nasib baiklah BFF hamba tidak melakukannya! ..........kalau tidak, bertambahlah kegusaran hamba. Adakah kerana  hamba cemburu? Oh! Tidak sama sekaliii.......

Al-kisah ........ pada suatu ketika yang lain pula hamba melihat seorang pakcik tua mencium tangan Hamid Othman (bekas menteri) ketika bersalam dengannya. Aduhhh ....sakitnyaaa.....

Hamba bukanlah anti Raja...tidak sama sekali...

Hamba ingin mempunyai raja yang berjiwa rakyat dan melihat diri mereka sebagai manusia yang sama taraf dengan rakyat jelata.

Cium tangan: adat bukan hukum
Jikalau mencium tangan itu sebagai adat yang menunjukkan tanda hormat, ia bukanlah cara yang terbaik. Adat yang kurang baik boleh saja kita tukar kerana ia bukanlah suatu hukum.


*Dipetik daripada UTUSAN MALAYSIA ONLINE-12 SEPTEMBER 2005
Cium tangan bertentangan hukum Islam - Raja Abdullah

RIYADH 11 Sept. - Pemerintah Arab Saudi yang baru, Raja Abdullah mengeluarkan arahan supaya rakyatnya tidak mencium tangan baginda apabila bersalam.

Baginda menjelaskan, perbuatan mencium tangan merupakan satu amalan yang bertentangan dengan hukum Islam dan merendahkan martabat seseorang.

``Mencium tangan seseorang adalah satu perbuatan asing dalam nilai-nilai moral kita dan ia tidak boleh diterima.

 ``Dengan mencium, ia juga bererti anda tunduk kepada individu berkenaan yakni telah melanggar peraturan yang ditetapkan oleh Allah. Manusia tidak tunduk kepada sesiapa melainkan Tuhan,'' titahnya.

Baginda bertitah demikian kepada sekumpulan delegasi dari Al-Baha yang mengunjunginya di Istana Diraja bagi mengucapkan tahniah di atas pelantikannya sebagai Raja Arab Saudi yang baru.

Abdullah menjadi raja negara itu pada 1 Ogos lalu ekoran kemangkatan Raja Fahd.

Sehubungan itu, Abdullah yang terkenal dengan sifat beliau menekankan kesopanan keluarga menegaskan, hanya bapa atau ibu sahaja yang layak menerima ciuman tersebut.

 ``Saya mengumumkan penolakan menyeluruh dalam hal ini dan saya meminta setiap orang supaya elak daripada mencium tangan sesiapa pun melainkan ibu bapa mereka,'' titah baginda. - Reuters

Friday 23 July 2010

SERBA SERBI SHA'ABAN

Hari ini 10 Sya'aban 1431 H. Lebih kurang 20 hari dari sekarang umat Islam di seluruh dunia akan menyambut bulan Ramadan yang mulia. Dalam tempoh  inilah kita cuba mempersiapkan diri dan keluarga agar bersedia menjalani ibadah puasa yang akan datang - dari sudut  mental dan fizikal. Biarlah ibadah puasa kita di tahun ini lebih baik daripada tahun-tahun yang sebelumnya.

Sya'aban adalah di antara beberapa bulan yang mulia dalam Islam. Kadang-kadang ada amalan-amalan yang dibuat tidak menuruti sunnah Nabi SAW. Di sini saya turunkan satu artikel yang diterima melalui emel, iaitu amalan-amalan sunnah di bulan Syaaban. Semoga apa yang tercatit menjadi hujah kepada amalan kita dan bukan kerana ikut-ikutan semata-mata.

Marilah kita sama-sama berdoa supaya dipanjangkan umur agar kita dipertemukan dengan Ramadan  al-mubarak yang akan datang. Doanya seperti di bawah:




Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban.  Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).

Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban

Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun tidak berpuasa sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.”

(HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.”

(HR. Muslim no. 1156).

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.”

(HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:

  1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu.

  2. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a

Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas (majoriti) ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).

Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah -mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat (rojih). Adapun sanggahan untuk pendapat yang mengatakan bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian di rumah tidaklah terlarang adalah sebagai berikut.

Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang menganjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).

Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)

Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).

Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)

Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.”

“Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim)

Tatkala Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. (HR. Muslim no. 1144) Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (

Puasa Setelah Pertengahan Sya’ban

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.”

(HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)

Dalam lafazh lain,

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya. Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ’Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082)

Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.

Al Atsrom mengatakan, Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

At Thahawiy mengatakan bahwa mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut. Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)

Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:

Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri.


Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)

Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan? Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan. Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib Ramadhan dan puasa sunnah di bulan Sya’ban. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)
Demikian pembahasan singkat kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.

[Muhammad Abduh Tuasikal]

Tuesday 13 July 2010

KEJAMKAH HUKUM ISLAM(3) - kebebasan beragama

Beberapa bulan yang lalu ada berita tentang ‘gay couple’ yang tidak dibenarkan menginap di salah sebuah tempat penginapan persendirian. Berita ini berasal  dari England, sebuah Negara Keristian. Ikuti berita seterusnya .....

A gay couple were turned away from a Berkshire guest house by the owner who said it was "against her convictions" for two men to share a bed.

Michael Black and John Morgan, from Brampton, Cambridgeshire, had booked a double room at the Swiss B&B, Terry's Lane, in Cookham, for Friday night.

But when they arrived owner Susanne Wilkinson refused to let them stay.

She admitted she did turn the couple away because it was against her policy to accommodate same sex couples.

The couple have now reported the matter to Thames Valley Police.

Under the Equality Act 2006 it is illegal to discriminate against people on the grounds of sexual orientation.

Ms Wilkinson told the BBC: "They gave me no prior warning and I couldn't offer them another room as I was fully booked.

"I don't see why I should change my mind and my beliefs I've held for years just because the government should force it on me.

"I am not a hotel, I am a guest house and this is a private house."

Mr Black and Mr Morgan were in the village, near Maidenhead, to meet some friends for dinner and to see a local play.

Mr Black told the BBC: "We're two respectable middle-aged men - John is leader of the Lib Dem group on Huntingdon Town Council.

Owner apologised

"This was the first time either of us had experienced homophobia at first hand, despite being aged 56 and 62. We were shocked and embarrassed.

"Mrs Wilkinson saw us both before we got out of the car and immediately acted in an unwelcoming, cold way, but my boyfriend and I were polite and friendly.

"She said if we'd told her in advance she would have told us not to come.

"She apologised for turning us away. I asked for a refund of the deposit, which she gave me without quibble.

"We stayed polite and, to be fair, she wasn't rude or abusive.

'Civil matter'

"All she said about her reasons for turning us away was that it went against her convictions for us to stay there.

"We've since told a large number of friends and acquaintances and the reaction has consistently been amazement that this should have happened.

"I've reported the matter to Thames Valley Police who have confirmed that they are following it up."

Thames Valley Police said the call had been logged as a homophobic incident.

A spokeswoman said: "As the people live outside of the force area, we have asked Cambridgeshire Constabulary to speak to the individuals concerned."

A spokesman for Stonewall, which campaigns for equality and justice for lesbians, gay men and bisexuals, said turning someone away on the grounds of sexual orientation was illegal.

Derek Munn, director of public affairs, said: "Stonewall was delighted when the law changed in 2007 so that lesbian and gay couples could go on their holidays like anyone else.

"In open and shut cases of discrimination on the grounds of sexual orientation the law's quite clear - it's illegal for businesses to turn away gay customers or discriminate against them when providing goods or services, and this can't be overridden by personal prejudice."



Perlukah kita memberi hak yang sama kepada mereka seperti pasangan yang normal??? .... ini bertentangan dengan hukum Islam
Apa yang menarik di sini ialah bukan sahaja di kalangan orang Islam  yang menentang perlakuan ‘homoseksual’ ini tetapi ia juga tidak dipersetujui oleh penganut agama lain . Malangnya bagi negara seperti Britain ia ‘menghalalkan’ homoseksual dan mengadakan undang-undang untuk melindungi mereka yang ‘gay’ ini. Barangsiapa yang bersifat diskriminasi terhadap mereka boleh dibawa ke muka pengadilan.

Alangkah malangnya nasib penganut agama Keristian di UK ...... hendak beramal mengikut ajaran kitabnya pun tidak dibenarkan. Kebiasaannya  inilah yang berlaku apabila pemimpin negara bersikap sekular walaupun mereka masih menganut agama tertentu. Semua keputusan dibuat mengikut citarasa sendiri tanpa mengira samada ia selari dengan kehendak agama rasmi negara atau pun tidak.

Rasanya di Malaysia ini pun tidak kurang berlakunya ‘penindasan beragama’ seperti di atas. Tidak lama dulu RTM sebagai saluran rasmi kerajaan Malaysia telah tidak membenarkan pembaca berita wanitanya yang beragama Islam menutup aurat. Setelah bertahun-tahun berjuang untuknya, barulah pihak RTM mengalah. Kalau tidak silap saya, syarikat penerbangan MAS masih tidak membenarkan pramugarinya yang beragama Islam menutup aurat semasa bertugas di ‘awan biru’......... yang bertugas di bawah mungkin ada yang  bertudung.

Cerita di atas adalah yang berlaku di agensi-agensi milik kerajaan. Manakala di kilang-kilang dan firma swasta juga dilaporkan banyak berlaku penidasan sedemikian rupa Kebanyakan majikan-majikan tidak membenarkan pekerja-pekerja Islamnya solat dalam waktu kerja. Pandai-pandai sendirilah mencari waktu terluang untuk menunaikan tanggungjawab bersolat. Pada hari Jumaat pula pekerja lelaki tidak diberi masa untuk menunaikan solat Jumaat. Ada yang terpaksa ambil cuti hari jumaat minggu yang ke-3  setelah 2 minggu berturut-turut tidak menunaikan solat Jumaat untuk mengelak jatuhnya hukum fasik ke atas mereka ......... kesian sungguh!

Semua ini berlaku di  ... Negara Islam Malaysia ...  mengikut tafsiran pemimpin-pemimpin kita. Mungkin bagi orang yang tidak mengambil berat bab hukum agama merasakan mereka bebas beragama dalam negara ini. Namun bagi mereka yang ingin melaksanakan hukum agama secara menyeluruh, masih lagi terdapat beberapa halangan yang perlu di atasi ...... tidaklah sebebas yang disangkakan.

Masih banyak lagi sistem-sistem atau pun peraturan -peraturan yang dilaksanakan dalam institusi-institusi dalam negara yang tidak  'Islamic friendly". Contoh  yang selalu terjadi pada saya ialah peraturan yang dikenakan oleh hotel-hotel 4 atau 5 bintang ketika berada dalam kolam renang mereka. Apabila anak lelaki saya ingin mandi dengan memakai seluar renang serta t-shirt ...... pihak hotel telah menghalangnya daripada berenang walaupun dalam kolam renang itu ada yang berpakaian sedemikian. Kenapa???......sebab anak saya lelaki tetapi yang seorang lagi itu perempuan! .......haaah ...... inilah satu peraturan yang cukup mengarut yang pernah saya jumpa. Apalah rasionalnya hendak membezakan perempuan dan lelaki dalam kolam renang. Walaubagaimanapun kini keadaannya sudah bertambah baik.

Inilah pakaian renang yang disenangi oleh pengusaha-pengusaha hotel di Malaysia
Rasanya 10 atau 15 tahun dahulu budak-budak perempuan juga tidak dibenarkan masuk ke dalam kolam renang jikalau tidak memakai pakaian renang yang 'proper' ...... ( almaklumlah zaman tu mana ada lagi baju renang wanita yang Islamik! )...... Inilah pusaka atau legasi yang ditinggalkan oleh pihak penjajah kepada kita. Namun kita tidak perlu terikut-ikut dengan peraturan jahiliah itu ........ negara kita ......kita buatlah peraturan sendiri mengikut citarasa sendiri ..... sesuai dengan namanya Negara Islam.

Alhamdulillah......kini sudah ada pakaian renang alternatif yang islamik

Banyak sangat perkara-perkara yang tidak Islamik berlaku di negara ini yang membuat saya kurang senang dengan nama jolokan itu . Selain daripada isu lama seperti yang disebut di atas, kini timbul pula isu baru yang jelas bertentangan dengan hukum agama Islam. Pihak kerajaan yang mengaku bahawa negara yang diperintah sebuah negara Islam telah berura-ura mahu menghalalkan perjudian di sisi undang-undang negara. Bukan orang Islam sahaja  yang menentang tetapi ia turut tidak dipersetujui oleh mereka dari agama lain.

Marilah kita sama-sama berdoa agar Allah membuka pintu hati para pemimpin kita supaya lebih mendekati Islam dan menerima Islam yang sebenar-benarnya ...... bukan Islam celup ....wallahualam!


Friday 26 March 2010

Salam Bukan Muslim

Soalan:

Apakah hukum memberi atau menjawab salam mereka yang bukan muslim?


Jawapan:

Di sini dipetik apa yang disebut oleh al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (meninggal 751H) dalam karyanya yang terkenal Zad al-Ma’ad:

Telah berbeza pendapat para ulama salaf dan khalaf mengenai hukum memberi salam kepada Yahudi dan Kristian. Kata kebanyakan ulama tersebut: “tidak dimulakan ucapan salam kepada mereka”.

Ulama yang lain berpendapat: “harus memulakan ucapan salam kepada mereka, seperti mana harus menjawabnya.

Pendapat ini (kedua) diriwayatkan daripada Ibn ‘Abbas, Abu Umamah dan Ibn Muhairiz. Ia juga salah satu pendapat dalam Mazhab al-Syafi’i. Namun empunya pendapat ini dalam Mazhab al-Syafi’i menyatakan: Disebut al-Salam ‘alaika tanpa menyebut wa rahmatullah, dan secara ifrad (untuk seorang sahaja).

Segolongan ulama berpendapat:

“Harus memulakan salam kepada Yahudi dan Kristian disebabkan kemaslahatan yang lebih utama yang diperlukan, atau bimbang tindakannya, atau hubungan kekeluargaan, atau apa-apa yang memerlukannya.

Diriwayatkan pendapat ini dari Ibrahim al-Nakha’i dan ‘Alqamah. Kata al-Auza’i:

“Jika engkau memberi salam kepada mereka (Yahudi dan Kristian), telah pun memberi salam kepada mereka sebelum ini golongan soleh. Jika engkau tidak memberi salam kepada mereka, telah pun tidak memberi salam kepada mereka sebelum ini golongan soleh yang lain”.

Sambung al-Imam Ibn Qayyim lagi:

“Para ulama berbeza pendapat tentang menjawab salam mereka. Majoriti ulama berpendapat wajib menjawab. Inilah pendapat yang benar. Kata segolongan ulama tidak wajib menjawab..”

Kata al-Imam Ibn Qayyim lagi:

“Telah sabit dalam hadis, Nabi s.a.w lalu dalam satu majlis yang bercampur antara muslim, musyrikin penyembah berhala dan Yahudi, lalu baginda memberi salam untuk mereka semua”

.(Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zad al-Ma’ad, 2/425-426, Beirut: Muassasah al-Risalah 1990).
Al-Imam al-Bukhari dalam kitabnya Al-Adab al-Mufrad di bawah tajuk Bab Kaif al-Radd ‘ala Ahl al-Zimmah (Bab Bagaimana Menjawab Salam Kafir Zimmi) meriwayatkan kata-kata Ibn ‘Abbas:

“Jawablah salam sama ada Yahudi, Nasrani atau Majusi. Ini kerana ALLAH berfirman (maksudnya dari Surah al-Nisa ayat 86) “Dan apabila kamu diberikan penghormatan dengan sesuatu ucapan hormat, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah dia (dengan cara yang sama). Sesungguhnya Allah sentiasa menghitung tiap-tiap sesuatu” (riwayat ini bertaraf hasan).

Dalam riwayat yang lain dalam al-Adab al-Mufrad juga di bawah bab Iza Kataba al-Zimmi Fasallama, Yuradd ‘Alaihi (Bab Apabila Kafir Zimmi Menulis Surat Dengan Memberi Salam, Maka Dijawab Salamnya). Dalam bab ini dimuatkan kisah yang sahih di mana Abu Musa al-Asy’ari menulis surat kepada seorang paderi lalu memberi salam dalam surat itu. Maka dia ditanya: Adakah engkau memberi salam kepadanya, sedangkan dia kafir?. Jawab Abu Musa: “Dia telah menulis surat kepadaku dengan memberi salam, maka akupun menjawabnya”.

Adapun hadis-hadis yang menyuruh dijawab ‘wa ‘alaika’ (ke atas kamu) terhadap salam Yahudi ialah disebabkan orang Yahudi pada zaman Nabi s.a.w apabila memberi salam menyebut as-samu ‘alaikum yang bermaksud: maut atau kemusnahan ke atas kamu. Mereka cuma mengelirukan pendengaran orang Islam. Justeru itulah Nabi s.a.w menyuruh dijawab dengan ungkapan ‘wa alaikum’ sahaja. Perkara ini jelas disebut dalam hadis baginda:

إِنَّ الْيَهُودَ إِذَا سَلَّمُوا عَلَيْكُمْ يَقُولُ أَحَدُهُمْ السَّامُ عَلَيْكُمْ فَقُلْ عَلَيْكَ

“Sesungguhnya Yahudi apabila memberi salam kepada kamu, sebenarnya dia menyebut: as-samu ‘alaika (maut atau kemusnahan). Maka kamu jawablah wa ‘alaika (ke atas kamu). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Maka dengan ini jelas hadith ini mempunyai Sabab al-Wurud (sebab terbentuknya sesuatu hadith) yang tersendiri. Iaitu ia merujuk kepada suatu kejadian atau keadaan yang mana orang Yahudi memberikan ucapan salam secara mainan dan sendaan dengan diubah lafaz yang kedengarannya hampir sama, tetapi maksudnya amat berbeza. Dalam ertikata lain hadith ini bukan untuk semua keadaan.

Maka jika keadaan berbeza, di mana jika ada bukan muslim memberikan salam dengan cara yang betul serta tujuan yang betul pula iaitu untuk mengucapkan kesejahteraan kepada kita, maka hadis di atas tiada kaitan lagi. Apakah wajar untuk kita sebagai penganut agama yang membawa kesejahteraan dan rahmah, menolak ucapan baik orang lain dengan cara yang tidak sepatutnya?!!. Sudah pasti tidak wajar demikian.

Justeru itu tokoh ulama hadis yang terkenal pada zaman ini, al-Syeikh Nasir al-Din al-Albani r.h. menyebut:

“Ayat ini (Surah al-Mumtahanah ayat8) dengan jelas memerintahkan agar melakukan kebaikan dan keadilan kepada orang kafir warga negara Islam yang berdamai dan tidak menyakiti kaum mukminin.

Tanpa syak lagi, jika seseorang di kalangan mereka memberi salam dengan menyebut secara jelas as-salam ‘alaikum , lalu kita menjawabnya sekadar wa ‘alaika, adalah sesuatu yang tidak adil dan meninggalkan sikap baik. Ini kerana kita telah mensamakan antara dia dengan orang yang mengucapkan as-samu ‘alaikum (maut atau kemusnahan ke atas kamu). Ini adalah kezaliman yang nyata”.
 (Nasir al-Din Al-Albani, Silsilah al-Ahadith al-Sahihah, 2/322, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif :1995).

(Jawapan dari Dr Mohd  Asri Zainul Abidin)


Wednesday 10 March 2010

Kejamkah Hukum Islam(2) - Hukum Tuhan Vs Hukum Manusia



  Baru-baru ini kita disibukkan dengan berita tentang 3 orang wanita dan 4 lelaki disebat kerana berzina. Berikutan itu terdengarlah suara-suara sumbang yang menentang hukuman yang telah dijatuhkan ka atas pezina-pezina itu. Selain dari mereka yang bukan Islam yang menyuarakan rasa kurang senang di  atas tindakan yang telah diambil, ada juga di kalangan orang Islam sendiri yang menentang hukum sebat ini. Termasuk yang menentangnya adalah para pemimpin negara.

Apakah benar andaian-andaian setengah pihak yang mengatakan hukum Islam itu kejam? Kebanyakan mereka yang mengiakannya bukanlah dari kalangan yang pakar hukum. Bahkan sebahagian daripada mereka itu pun bukan dari kalangan penganut agama Islam. Mereka mengatakan demikian hanya berpandukan kepada akal fikiran mereka sahaja.

Sekali lagi saya bertanya, benarkah hukum Islam itu kejam? Apakah hukum yang dibuat oleh manusia itu lebih adil dan berperikemanusiaan? Siapakah kita untuk menilainya sedangkan diri kita ini sendiripun "tuhan Allah" yang menciptanya. Apabila Allah menurunkan Adam dan Hawa ke mukabumi, Allah juga menurunkan peraturan-peraturan hidup yang lengkap untuk keturunannya. Jika Allah yang mencipta manusia, maka sudah pastilah undang-undang atau peraturan hidup yang ditetapkan ke atas manusia sememangnya sesuai dengan keperluan manusia itu sendiri. Secara logiknya tidak timbul persoalan samada hukum-hukum Islam itu kejam atau tidak. Manusia hanya boleh menilai sesuatu perkara hanya berdasarkan pengetahuan dan ilmu yang cetek kerana akal fikirannya yang terbatas, sedangkan ilmu Allah itu tiada batasan. Firman Allah :

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَآءِ وَالاٌّرْضِ إِنَّ ذلِكَ فِى كِتَـبٍ إِنَّ ذلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Bukankah engkau telah mengetahui bahawasanya Allah mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi? Sesungguhnya yang demikian itu ada tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuz); sesungguhnya hal itu amatlah mudah bagi Allah.  ( surah Al-Hajj: 70)
 
Kembali semula kepada persoalan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada sesuatu kesalahan. Contohnya dalam pembicaraan kita sekarang ialah hukuman untuk mereka yang berzina. Apakah bentuk hukuman yang sebenarnya?

Zina Sebagai Satu kesalahan

 Sungguhpun perbuatan zina telah ditetapkan sebagai  satu kesalahan yang boleh dikenakan hukuman sejak tahun ketiga Hijriah tetapi penetapan tersebut belum menjadi undang-undang pemerintah. Pada masa itu zina masih bersifat sebagai kejahatan keluarga atau masyarakat biasa. Oleh kerana itu pihak keluargalah yang menghukumnya. Hal ini diterangkan oleh firman Allah:

  وَاللَـتِى يَأْتِينَ الْفَـحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُواْ عَلَيْهِنَّ أَرْبَعةً مِّنْكُمْ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِى الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً - وَاللَّذَانَ يَأْتِيَـنِهَا مِنكُمْ فَـَاذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمَآ إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّاباً رَّحِيماً

Dan sesiapa yang melakukan perbuatan keji (zina) di antara perempuan-perempuan kamu, maka carilah empat orang lelaki di antara kamu yang menjadi saksi terhadap perbuatan mereka. Kemudian kalau keterangan-keterangan saksi itu mengesahkan perbuatan tersebut, maka kurunglah mereka (perempuan yang berzina itu) dalam rumah hingga mereka sampai ajal matinya, atau hingga Allah mengadakan untuk mereka jalan keluar (dari hukuman itu).

Dan (mana-mana) dua orang di antara kamu yang melakukan perbuatan yang keji itu, (setelah sabit kesalahannya) maka hendaklah kamu menyakiti keduanya; kemudian jika mereka bertaubat dan memperbaiki keadaan diri mereka (yang buruk itu), maka biarkanlah mereka; kerana sesungguhnya Allah adalah sentiasa Menerima taubat, lagi Maha Luas rahmatNya.

(An Nisa:15-16)

Dari ayat 15 surah ini nampak bahawa hukum zina masih bersifat sementara dan mengisyaratkan akan tiba hukum zina yang lebih pasti dan tetap.

Dua setengah tahun kemudian turunlah ayat-ayat yang terdapat dalam surah An Nuur yang menghukumi zina secara tetap, dan seterusnya dijadikan undang-undang negara Islam.

 Hukuman Berzina dalam Islam

Firman Allah dalam surah An Nur ayat 2,

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُواْ كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِاْئَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الاٌّخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Permpuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali sebat; dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum ugama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat; dan hendaklah disaksikan hukuman seksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman

Banyak yang perlu kita fahami sebelum kita mengambil ayat ini sebagai dalil hukuman zina. Ada beberapa sudut yang perlu dijelaskan di sini iaitu masalah perundangan, sejarah dan tata kesusilaan yang bila tidak diperinci akan menimbulkan kebingungan dalam memahami undang-undang hukum Allah dan berbagai masalah kehidupan keluarga.

Masyarakat yang masih dekat dengan perasaan fitrah manusia masih memandang zina sebagai perbuatan yang memudaratkan, yang harus mendapat hukuman berat pada si pelaku. Sungguhpun demikian sikap mereka dalam menghadapi perzinaan sedikit demi sedikit luluh dan sesuai dengan alur kebudayaan yang mempengaruhi masyarakat.

Sejarah telah menunjukkan bagaimana kaum Yahudi dan Nasrani telah meminda-minda hukuman zina yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab mereka. Mereka telah meringankan hukumannya dengan alasan tersendiri. Mereka telah mengambil undang-undang Mesir Kuno, Babilona, Ashor dan Hindu, sebagai rujukan apabila merubah hukum yang asal.

Undang-undang Islam menetapkan pezina mesti dihukum dan hukuman yang lebih berat dijatuhkan terhadap mereka yang telah berkeluarga. Dalam pandangan peraturan Islam, bila perbuatan zina dibiarkan begitu saja tanpa tali pengekang maka anak yang lahir dari hasil zina tidak akan dapat diketahui asal-usul keterunannya. Oleh kerana itulah hubungan lelaki dan perempuan hendaknya terbatas pada hubungan yang bersifat masih dapat dipertanggungjawabkan dengan peraturan. Hubungan yang terbatas ini tidak akan dapat terwujud selagi kita tidak menghalang tersebarnya unsur-unsur yang menggalakkan pergaulan bebas dalam masyarakat.
Pergaulan bebas seperti ini boleh membawa kepada perbuatan maksiat seperti zina dan seterusnya menjadi gejala sosial dalam masyarakat seperti pembuangan bayi hasil hubungan di luar nikah
Dalam Islam kesalahan berzina mempunyai hukuman yang berbeza di antara pezina yang sudah dan belum bernikah. Bagi yang belum bernikah mereka dijatuhkan hukuman disebat sebanyak 100 kali. Manakala bagi mereka yang sudah berkahwin direjam sehingga mati.

Walaupun hukuman ini nampak kejam tetapi keputusan untuk melaksanakannya tidakah boleh diambil sewenang-wenangnya. Sebelum sebarang hukuman dijatuhkan keterangan yang pasti dan jelas perlu di dapati samada dari pengakuan pezina atau para saksi, sungguhpun perbuatannya telah tersebar luas.

Mungkin ramai di antara kita yang tidak tahu bahawa Undang-undang hukum Islam tidak mengharuskan terdakwa mengakui perbuatannya. Orang yang melihat perbuatannya pun tidak diharuskan melapor kepada pihak pengadilan (hakim, penegak hukum). Namun bila perkara sampai kepada hakim maka hakim tidak boleh memaafkan terdakwa apabila telah terbukti nyata. Lain halnya bila belum terbukti maka hakim diizinkan memaafkan dan membebaskan terdakwa.

Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa melaporkan hal-hal kotor maka hendaknya dia menutup-nutupinya kerana Allah. Apabila telah jelas bagi kami maka akan kami hukumi dengan Kitabullah."

Dalam hadis yang diriwayatkan Abi Daud, dikisahkan Maa'iz Al Asmami telah berzina dengan seorang budak (hamba) wanita. Kemudian dia telah disuruh oleh bapa angkatnya Hazzal bin Na'im untuk mengadap Rasulullah SAW dan mengakui perbuatannya, dengan harapan hukumannya akan diringankan. Sebaliknya Rasulullah SAW telah menghukum rejam Ma'iz dan terhadap Hazzal, Rasulullah berkata,

 "Sekiranya engkau menutup-nutupi masalahnya dengan kebesaranmu tentu hal itu baik bagimu"


Rujukan daripada buku: KEJAMKAH HUKUM ISLAM oleh Abdul A'la Almaududi

Thursday 13 August 2009

Amalan Bida'ah di Bulan Sya'aban


jemaah

Hari ini 22 Sya'aban 1430 Hijrah bersamaan 13 Ogos 2009 . Minggu lepas banyak masjid dan surau di sekitar Johor mengadakan majlis khas sempena 'Nisfu Sya'aban' iaitu bersamaan 15 Sya'aban. Ada yang menamakannya sebagai Majlis Yasin Perdana, ada pula yang memanggilnya Majlis Tahlil Khas dan seumpamanya. Mereka berhimpun selepas solat maghrib.



Mereka membaca surah Yasin dan solat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca doa yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi‘in dan tabi’ tabi‘in). Ia satu doa yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan sunah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya. Ini adalah di antara beberapa amalan yang dilakukan pada malam tersebut.

Sebenarnya hadis sahih mengenai keutamaan malam Nisfu Syaaban itu memang ada, tetapi amalan-amalan tertentu khas pada malam tersebut adalah palsu. Hadis yang boleh dipegang dalam masalah Nisfu Syaaban ialah:

“Allah melihat kepada hamba-hamba- Nya pada malam Nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) " (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain)

Al-Albani mensahihkan hadis ini dalam Silsilah al-Ahadis al-Sahihah. (jilid 3, m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma‘arf, Riyadh).

Hadis ini tidak mengajar kita apakah bentuk amalan malam berkenaan. Oleh itu, amalan-amalan khas tertentu pada malam tersebut bukan dari ajaran Nabi s.a.w.

Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam menjawab soalan berhubung dengan Nisfu Syaaban:

“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam Nisfu Syaaban, membaca doa tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.”

Perhimpunan (malam Nisfu Syaaban) seperti yang disebut di atas adalah bidaah. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas.

Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bidaah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bidaah, dan setiap yang bidaah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka. (Dr. Yusuf al-Qaradawi, fatawa Mu‘asarah jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut).

Namun demikian,  ini bukanlah bererti malam tersebut tidak mempunyai kelebihannya. Bahkan, terdapat hadis-hadis thabit yang menyebut akan fadilat dan kelebihannya, tetapi tidak dinyatakan tentang amalan ibadah khas yang perlu dilakukan. Maka sebarang ibadah yang dilakukan pada malam tersebut tidak boleh disandarkan dengan mana-mana hadis atau pun menganggapnya mempunyai kelebihan yang khas dan tidak juga dilakukan secara berjemaah.

Hal ini telah disebut al-Imam al-Suyuti:

"Dan pada malam Nisfu Syaaban itu padanya kelebihan, dan menghidupkannya dengan ibadah adalah digalakkan, tetapi hendaklah dilakukan secara bersendirian bukan dalam bentuk berjemaah.'' (Rujuk: al-Suyuti, al-amru bi al-ittiba' wa al-nahyu an al-ibtida' (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1998), hal 61) b)

Amalan-amalan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada bulan Sya'aban hanyalah amalan-amalan biasa seperti membaca Quran, berzikir , berdoa dan mengerjakan solat sunat. Hanya beliau memperbanyakkan puasa sunat pada bulan ini seperti yang disebut dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasaai dan Abu Daud, disahihkan Khuzaimah daripada Usamah bin Zaid katanya:

"Aku bertanya Rasulullah SAW: Ya Rasulullah! Aku tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan berbanding bulan lain seperti engkau berpuasa daripada sebahagian Syaaban. Baginda bersabda: Itulah bulan yang manusia melupakannya antara bulan Rejab dan Ramadan, iaitu bulan yang diangkat amalan kepada Allah, Tuhan semesta alam. Oleh itu, aku suka supaya amalanku diangkat ketika aku sedang berpuasa." (Hadis riwayat al-Nasaai)

Mengikut sunnah Nabi, Aishah RA meriwayatkan bahawa Rasulullah berpuasa di kebanyakan hari dalam Sha'aban, tetapi beliau berhenti berpuasa apabila menjelang tibanya Ramadhan. Adalah lebih baik kita melakukan amalan sunat berpuasa sebanyak-banyaknya sebelum nisfu Sya'aban dan berhenti berpuasa  selepas nisfu Sya'aban, kecuali puasa ganti dan sebagainya.

Melalui amalan ini Rasulullah SAW ingin memberitahu kepada kita bahawa kita digalakkan mempersiapkan tubuh badan kita untuk menghadapi puasa Ramadhan di awal Sya'aban. Namun sebelum tiba Ramadhan, badan harus dirihatkan dari berpuasa seketika sebagai persediaan untuk berpuasa terus menerus selama sebulan di bulan Ramadhan. Ini juga adalah untuk membezakan antara puasa di bulan Syawal yang hanya dianggap sebagai latihan dan puasa yang dituntut di bulan Ramadhan. Itulah hikmahnya tidak dilakukan puasa Sya'aban terus-menerus bersambung dengan puasa Ramadhan.

Catitan:
Dari koleksi emel group

Friday 3 July 2009

Aurat Wanita di Luar Sembahyang

Aurat wanita dengan lelaki ajnabi di luar sembahyang adalah sama dengan auratnya dalam sembahyang, iaitu seluruh badan kecuali muka dan dua  tapak tangan, termasuk kekura tangan hingga ke sendi yang memisahkan tapak tangan dengan tangan, iaitu tempat wanita memakai gelang.

Hujah wajib menutup aurat

Banyak nas-nas syarak yang menunjukkan aurat wajib ditutup.

1.   Allah menyebut dalam ayat 31 surah al-Nur yang bermaksud:

"Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman, supaya menahan pandangan mereka (daripada memandang perkara-perkara yang haram) dan memelihara kehormatan mereka dan janganlah memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya. Dan mereka perlu melabuhkan kain tudung mereka ke dada."

Ayat ini melarang wanita menunjukkan perhiasan yang di pakai kecuali perhiasan yang pada kebiasaannya terdedah. Ini bermaksud, anggota yang boleh didedahkan adalah anggota yang pada kebiasaannya dijadikan tempat memakai perhiasan zahir, iaitu muka dan tapak tangan. Ia juga memerintahkan wanita supaya melabuhkan tudung kepala hingga ke paras dada. Ertinya, tengkok dan leher tidak boleh didedahkan.

2.  Allah berkata dalam ayat 59 surah al-Ahzab yang bermaksud:

"Wahai Nabi, suruhlah isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta perempuan-perempuan yang beriman supaya mereka melabuhkan pakaian bagi menutup seluruh tubuhnya."

Ayat ini mengarahkan Rasulullah supaya memerintahkan para isterinya dan wanita Islam melabuhkan pakaian di tubuh mereka.

3.   Aisyah melaporkan:

"Asma' binti Abu Bakar pernah masuk ke tempat Nabi, di badannya (dipakai) pakaian yang jarang, lalu Rasulullah berpaling dan berkata: 'Ya Asma', apabila perempuan sampai usia haid (iaitu baligh, dengan datang haid, genap usia 15 tahun ataupun mimpi dan kelur mani) tidak wajar lagi dilihat  anggota tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan muka dan dua tapak tangannya."    (Direkodkan oleh Abu Daud)

Maksud tangan  dalam hadis ini ialah bermula daripada pergelangan tangan, kekura tangan hingga ke hujung jari (bahagian atas tapak tangan) dan tapak tangan. Hadis ini menjelaskan, anggota yang boleh di dedahkan adalah muka dan dua tangan. Selain daripada itu mestilah ditutup.

Image000

Pakaian wanita yang sempurna menutup aurat untuk sembahyang - kaki berstoking

aurat wanita-1

Adakah kaki wanita aurat?

Maksud kaki di sini ialah mulai daripada pergelangan kaki ke bawah, termasuklah buku lali, kekura kaki hingga ke hujung jari, tumit dan tapak kaki. Ulama berbeza pendapat  sama ada ia aurat ataupun tidak:

1.   Majoriti ulama' berpendapat, kaki wanita adalah aurat. Hujah yang mereka pegang adalah hadis yang dilaporkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah berkata:

"Allah tidak melihat kepada sesiapa yang mengheret pakaiannya yang labuh kerana bermegah. Ummu Salamah bertanya: 'Bagaimana wanita patut lakukan dengan hujung-hujung pakaian mereka yang labuh?'. Beliau menjawab: 'Labuhkanlah kadar sejengkal."

Dalam hadis ini, Rasulullah memerintahkan wanita supaya melabuhkan pakaian mereka kadar sejengkal bagi menutup kaki mereka. Perintah ini menunjukkan kaki wanita adalah aurat, sebab itu ia wajib ditutup.

2.   Mazhab Hanafi berpendapat, kaki wanita bukan aurat. Hujah yang nereka pegang adalah;  Kaki termasuk dalam anggota yang dikecualikan daripada larangan mendedahkannya seperti mana Allah menyebut (kecuali anggota yang zahir). Oleh itu,  kaki adalah sama dengan muka dan tapak tangan. Ia dianggap anggota zahir, bukan aurat yang wajib ditutup.

Bagi Mazhab Shafie, walaupun wanita ini tidak memakai sarong kaki dia sempurna menutup aurat kerana pekerjaaannya menyukarkan beliau memakai stoking
Bagi Mazhab Shafie, walaupun wanita ini tidak memakai sarong kaki dia sempurna menutup aurat kerana pekerjaaannya menyukarkan beliau memakai stoking

Pakaian wanita ini belum sempurna menutup aurat mengikut pendapat semua mazhab
Pakaian wanita ini belum sempurna menutup aurat mengikut pendapat semua mazhab

Ini pakaian wanita sempurna bagi Mazhab Syafie
Ini pakaian wanita sempurna bagi Mazhab Syafie

Dipetik daripada buku Islam yang Mudah oleh:

Ustaz Alias Othman dan Dr. Anisah bt Abdul Ghani


Friday 23 May 2008

Halal Dan Haram Dalam Makanan

SEJAK dahulukala umat manusia berbeza-beza dalam menilai masalah makanan dan minuman mereka, ada yang boleh dan ada juga yang tidak boleh. Lebih-lebih dalam masalah makanan yang berupa binatang. Adapun masalah makanan dan minuman yang berupa tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan. Dan Islam sendiri tidak mengharamkan hal tersebut, kecuali setelah menjadi arak, baik yang dibuat dari anggur, korma, gandum ataupun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda tersebut sudah mencapai kadar memabukkan.

Begitu juga Islam mengharamkan semua benda yang dapat menghilangkan kesedaran dan melemahkan urat serta yang membahayakan tubuh. Adapun soal makanan berupa binatang, inilah yang terus diperselisihkan dengan hebat oleh agama-agama dan golongan yang peka.

Menyembelih dan Makan Binatang Dalam Pandangan Agama Hindu

Ada segolongan, misalnya Golongan Brahmana (Hindu) dan Filsuf yang mengharamkan dirinya menyembelih dan memakan binatang. Mereka cukup hidup dengan memakan makanan dari tumbuh-tumbuhan. Golongan ini berpendapat, bahawa menyembelih binatang termasuk suatu keganasan manusia terhadap binatang hidup. Manusia tidak berhak untuk menghalang binatang daripada hidup.
Namun kita juga tahu dari hasil pengamatan kita terhadap alam ini, bahawa diciptanya binatang-binatang itu tanpa ada suatu tujuan, sebab binatang tidak mempunyai akal dan kehendak. Bahkan secara nalurinya binatang-binatang itu dicipta untuk memenuhi (khidmat) keperluan manusia. Oleh kerana itu bukan sesuatu yang pelik kalau manusia dapat memanfaatkan dagingnya dengan cara menyembelih, sebagaimana halnya dia juga dapat memanfaatkan tenaganya dengan cara yang lazim.

Kita pun mengetahui dari sunnatullah (ketentuan Allah) terhadap makhluknya ini, iaitu: golongan rendah biasa berkorban untuk golongan atas. Misalnya daun-daunan yang masih hijau boleh dipotong/dipetik buat makanan binatang, dan binatang disembelih untuk makanan manusia dan, bahkan, seseorang berperang dan terbunuh untuk kepentingan orang ramai. Begitulah seterusnya.

Haruslah diingat, bahawa dengan melarang manusia dari menyembelih binatang, tidak juga dapat melindungi binatang tersebut dari bahaya maut dan binasa. Kalau tidak bergaduh antara satu sama lain, dia juga akan mati dengan sendirinya; dan kadang-kadang mati dalam keadaan demikian itu lebih sakit daripada ketajaman pisau.

Binatang yang Diharamkan Dalam Pandangan Yahudi dan Nasrani

Dalam pandangan agama Yahudi dan Nasrani (kitab), Allah mengharamkan kepada orang-orang Yahudi beberapa binatang laut dan darat. Penjelasannya dapat dilihat dalam Taurat (Perjanjian Lama) fasal 11 ayat 1 dan seterusnya.

Dan oleh al-Ouran disebutkan sebahagian binatang yang diharamkan buat orang-orang Yahudi itu serta alasan diharamkannya, iaitu seperti yang disebutkan di atas, bahawa diharamkannya binatang tersebut adalah sebagai hukuman berhubung kezaliman dan kesalahan yang mereka lakukan. Firman Allah yang bermaksud,

“Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, kecuali (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka. Dan sesungguhnya Kami adalah (di pihak) yang benar.” (al-An'am: 146)

Demikianlah keadaan orang-orang Yahudi. Sedangkan orang-orang Nasrani sesuai dengan ketentuannya harus mengikuti orang-orang Yahudi. Kerana itu Injil menegaskan, bahawa Isa a.s. datang bukan untuk mengubah hukum Taurat (Namus) tetapi untuk menyempurnakannya.

Namun pada kenyataannya, mereka telah mengubah hukum Taurat itu. Apa yang diharamkan dalam Taurat telah dihapus oleh orang-orang Nasrani ,tanpa dihapus oleh Injilnya. Mereka mahu mengikuti Paul yang dipandang suci itu dalam masalah halalnya semua makanan dan minuman, kecuali yang memang disembelih untuk berhala kalau dengan tegas itu dikatakan kepada orang Kristian: "Bahawa binatang tersebut disembelih untuk berhala."
Paul memberikan alasan, bahawa semua yang suci halal untuk orang yang suci, dan semua yang masuk dalam mulut tidak dapat menajiskan mulut, yang dapat menajiskan mulut ialah apa yang keluar dari mulut.
Mereka juga telah menghalalkan babi, sekalipun dengan tegas babi itu diharamkan oleh Taurat sampai hari ini.

Menurut Pandangan Orang Arab Jahiliah

Orang-orang Arab jahiliah mengharamkan sebahagian binatang kerana kotor, dan sebahagiannya diharamkan kerana ada hubungannya dengan masalah peribadatan (ta'abbud), kerana untuk bertaqarrub kepada berhala dan kerana mengikuti anggapan-anggapan yang salah (waham).
Tetapi di sebalik itu, mereka banyak juga menghalalkan beberapa binatang yang kotor (khabaits), seperti bangkai dan darah yang mengalir.
Makanan Yang Haram Dalam Islam

Allah berfirman yang bermaksud,

“Allah hanya mengharamkan kepada kamu bangkai, darah ,daging babi dan binatang yang disembelih bukan kerana Allah….” (al-Baqarah :173)

Jenis-jenis bangkai:

1. Binatang yang mati kerana dicekik

2. Binatang yang mati kerana dipukul

3. Binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi, seperti ke dalam perigi, sehingga mati

4. Binatang yang bergaduh antara satu sama lain sehingga mati

5. Binatang yang disergap oleh binatang buas dengan dimakan sebahagian dagingnya

sehingga mati

Namun belalang, ikan dan kehidupan laut yang sepertinya dikecualikan dari kategori bangkai. Sabda Nabi SAW yang bermaksud,

“ Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.”
( Riwayat Ahmad dan ahli sunnah)

Darah yang mengalir:

Limpa, walaupun adalah merupakan darah tetapi tidak diharamkan kerana ia bukan darah mengalir yang diharamkan.

Orang-orang jahiliah dahulu kalau lapar, diambilnya sesuatu yang tajam dari tulang ataupun lainya, lantas ditusukkannya kepada unta atau binatang dan darahnya yang mengalir itu dikumpulkan lalu diminum.

Dipetik dari buku Halal Dan Haram Dalam Islam

Wednesday 16 April 2008

KEJAMKAH HUKUM ISLAM ( 1 )


PARA Orientalis, orang kafir dan tidak kurang juga orang-orang Islam sendiri menyifatkan Islam sebagai satu agama yang sudah ketinggalan zaman, kuno, "barbaric" dan seumpamanya. Mereka menuduh hukum Islam kejam. Mereka mencela hukum qisas, hukum sebat dan pengasingan dalam Undang-Undang Islam.

Benarkah begitu? Sekali-sekala terdengar ahli-ahli poitik bukan Islam memperkatakan sesuatu yang kurang enak tentang Islam. Apakah mereka layak membahas tentang isu-isu semasa dalam Islam sedangkan mereka hanya mengenali Islam melalui lisan rakan -rakan mereka atau pun melalui pemerhatian cara hidup masyarakat Islam sekeliling mereka. Sungguh malang sekali apabila ada di kalangan ahli poitik ini yang sanggup mengeluarkan kata-kata " over my dead body " bagi menunjukkan penentangan habis-habisan terhadap cetusan harapan menjadikan Malaysia sebuah negara Islam.



Kadang-kadang saya terfikir mengapa mereka ini yang dilahirkan dan membesar dalam sebuah negara yang mengaku Islam sebagai agama rasminya memusuhi Islam sedemikiam rupa. Semasa saya di UK apabila ada sekumpulan aktivis Islam menyatakan hasrat mereka untuk menjadikan England sebuah negara Islam , tidak ada pula ahli politiknya yang mengeluarkan kenyataan yang mengancam seperti itu walaupun mereka tidak setuju. Apabila diminta komen mereka (ahli politik) mengatakan itu adalah hak mereka (aktivis) dan mereka boleh mencubanya (menjadikan England sebuah negara Islam). Ini adalah kenyataan yang datangnya daripada mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah negara yang agama rasminya adalah Keristian.

Malah lebih kurang 2 bulan lepas ada seorang Paderi Besarnya menyarankan kerajaannya menggunapakai sesetengah hukum-hukum Islam dalam menyelesaikan masalah kekeluargaan terutamanya di kalangan orang-orang Islam.Yang peliknya, di antara mereka yang menentang saranan ini dengan lantangnya adalah seorang paderi yang mempunyai nama seperti seorang Islam. Berkemungkinan beliau adalah dari keturunan Arab.

Petikan berita dari BBC News UK, 7 Feb 2008

The Archbishop of Canterbury says the adoption of certain aspects of Sharia law in the UK "seems unavoidable".

Dr Rowan Williams told Radio 4's World at One that the UK has to "face up to the fact" that some of its citizens do not relate to the British legal system.
Dr Williams argues that adopting parts of Islamic Sharia law would help maintain social cohesion.
For example, Muslims could choose to have marital disputes or financial matters dealt with in a Sharia court.
He says Muslims should not have to choose between "the stark alternatives of cultural loyalty or state loyalty".

Last month, the Bishop of Rochester, the Right Reverend Dr Michael Nazir-Ali, said some places in the UK were no-go areas for non-Muslims.

Dari manakah orang-orang yang terpelajar ( seperti ahli politik, kumpulan Hak Asasi Manusia, Woman's Right, Animal's Right, dll. ) ini mendapat gambaran yang salah tentang Islam? Kemungkinan jikalau mereka terbaca pun bahan-bahan pasal Islam, mereka tidak dapat menghayatinya kerana tidak mahu atau masih belum diberi hidayah. Sama seperti orang Islam sendiri jikalau diberitahu sesuatu perkara yang dituntut Islam mengerjakanya, dia masih mengingkarinya kerana kedegilannya.


 Sebaliknya jika mereka memperolehinya melalui berinteraksi dengan orang Islam iaitu melalui contoh yang dipamerkan oleh penganut-penganut Islam, maka yang patut dipersalahkan di sini ialah kita sebagai model Islam. Sebagaimana yang kita maklum bukan semua orang Islam yang di luar sana itu " good muslim". Berapa ramai yang meminum arak, yang berzina , yang mencuri, yang membohong, menipu ,yang mengambil rasuah, yang membuang anak, yang membunuh dan macam-macam lagi. Sebut saja apa jenis maksiat , orang Islam ada melakukanya. Jadi tidak hairanlah mereka mempunyai tanggapan yang sangat negatif terhadap Islam. Mereka tidak dapat melihat Islam dalam bentuknya yang cantik dan indah.


Sebagai orang Islam marilah kita sama-sama memperbaiki ahklak kita seperti yang di anjurkan oleh Islam. Hiasilah diri kita dengan sifat-sifat mahmudah ( terpuji) dan jauhilah diri dari sifat-sifat mazmumah (negatif atau keji). Berdasarkan sebuah Hadis Nabi s.a.w. dalam bentuk doa, ada lapan sifat negatif yang menyebabkan kemurkaan Allah iaitu:
 (1) kesusahan yang tidak diatasi,
 (2) kedukacitaan yang berterusan,
 (3) lemah,
 (4) malas,
 (5) penakut dan pengecut yang tidak kena pada tempatnya,
 (6) bakhil,
 (7) hutang keliling pinggang dan
(8) merelakan diri ditindas orang.

 Jikalau semua orang Islam bebas daripada sifat-sifat yang disebut di atas sudah pasti tidak akan kedengaran komen-komen negatif daripada "non-muslim" seperti "orang Islam malas" , "orang Islam pengotor" dsbnya.