Showing posts with label ibadah. Show all posts
Showing posts with label ibadah. Show all posts

Thursday, 22 June 2023

Kemuliaan dan Keutamaan 10 hari Pertama Bulan Zulhijjah

Hari ini sudah masuk hari ke-4 Zulhijjah 1444 Hijrah. Namun masih belum terlambat untuk kita mengejar ganjaran-ganjaran hebat yang ditawarkan oleh Allah. Marilah kita bersama-sama mengisi baki hari-hari istimewa ini dengan amalan-amalan yang akan kita bawa sebagai bekalan di akhirat nanti.

Pada sepuluh hari pertamanya terdapat banyak kemuliaan dan keutamaan serta dipenuhi barakah. Hari-hari tersebut disediakan oleh Allah sebagai musim ketaatan dan kesempatan beramal soleh yang bersifat tahunan. Maka hendaknya seorang muslim menantikan kehadirannya, memanfaatkannya dengan melaksanakan berbagai ibadah yang disyariatkan, menjaga perkataan dan amal yang soleh agar mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dan membantunya dalam menghadapi kehidupan ini dengan jiwa yang tenang dan semangat yang berkobar.

Bukti kemuliaan ini, Allah Ta’ala bersumpah dengannya dalam Al-Qur’an al-Karim.

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)

Imam al-Thabari dalam menafsirkan “Wa layaalin ‘asr” (Dan malam yang sepuluh), “Dia adalah malam-malam sepuluh Zulhijjah berdasarkan kesepakatan hujjah dari ahli ta’wil (ahli tafsir).” (Jaami’ al Bayan fi Ta’wil al-Qur’an: 7/514)

Penafsiran ini dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, “Dan malam-malam yang sepuluh, maksudnya: Sepuluh Zulhijjah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan lebih dari satu ulama salaf dan khalaf.” (Ibnu Katsir: 4/535)

Kemuliaan sepuluh hari ini juga disebutkan dalam Surat Al-Hajj dengan perintah agar memperbanyak menyebut nama Allah pada hari-hari tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28)

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini menukil riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, “al-Ayyam al-Ma’lumat (hari-hari yang ditentukan) adalah hari-hari yang sepuluh.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/239)

Maka dapat disimpulkan bahawa keutamaan dan kemuliaan hari-hari yang sepuluh dari Zulhijjah telah datang secara jelas dalam Al-Qur’an al-Karim yang dinamakan dengan Ayyam Ma’lumat karena keutamaannya dan kedudukannya yang mulia.

Dari hadis pula, terdapat keterangan yang menunjukkan keutamaan dan kemuliaan sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijjah ini, di antaranya sabda Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Tidak ada satu amal soleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal soleh yang dilakukan pada hari-hari ini (iaitu 10 hari pertama bulan Zulhijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”                (HR. Abu Daud dan  Ibnu Majah).

Oleh kerana itu dianjurkan atas orang Islam pada hari-hari tersebut untuk bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, di antaranya solat, membaca Al-Qur’an, zikrullah, memperbanyak doa, membantu orang-orang yang kesusahan, menyantuni orang miskin, memperbaharui janji kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masih ada satu amalan lagi yang utama pada hari-hari tersebut, yaitu berpuasa sunnah di dalamnya.

Terdapat dalam Sunan Abu dawud dan lainnya, dari salah seorang isteri Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ

“Adalah Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada tanggal 9 Zulhijjah.”

(HR. Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 2081)

Syaikh Muhammad bin Salih al-Munajjid –Salah seorang ulama besar Saudi Arabia- berkata,

“Di antara musim ketaatan yang agung adalah sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijjah, yang telah Allah muliakan atas hari-hari lainnya selama setahun".

Hadis ini dan hadis-hadis lainnya menunjukkan bahawa sepuluh hari ini lebih utama dari seluruh hari dalam setahun kecuali, sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan. Syaikh Munajjid menambah, keutamaan sepuluh hari pertama ini diperkuat dengan beberapa bukti di bawah ini:

1. Allah Ta’ala telah bersumpah dengannya. Dan bersumpahnya Allah dengan sesuatu menjadi dalil keutamaannya dan besarnya manfaat. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)

Ibnu Abbas, Ibnu al-Zubair, Mujahid, dan beberapa ulama salaf dan khalaf berkata: Bahawasanya dia itu adalah sepuluh hari pertama Zulhijjah.

Ibnu Katsir membenarkan pendapat ini (Tafsir Ibni Katsir: 8/413)

2. Sesungguhnya Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersaksi bahawa hari-hari tersebut adalah seutama-utamanya hari-hari dunia sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis sahih.

3. Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memperbanyak amal salih di dalamnya. Sesungguhnya kemuliaan masa diperoleh oleh setiap penduduk negeri, sementara keutamaan tempat hanya dimiliki oleh jama’ah haji di Baitul Haram.

4. Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan takbir pada sepuluh hari tersebut. Dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhuma, dari Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal soleh di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Zulhijjah), kerananya perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya.” (HR. Ahmad 7/224, Syaikh Ahmad Syakir mensahihkan isnadnya).

5. Di dalamnya terdapat hari Arafah. Hari ‘Arafah adalah hari yang disaksikan; yang di dalamnya Allah menyempurnakan ajaran din-Nya sementara puasanya akan menghapuskan dosa-dosa selama dua tahun.

Daripada Abi Qatadah al-Ansari bahawa Rasulullah S.A.W telah ditanya mengenai puasa hari Arafah? maka jawab Rasulullah S.A.W yang bermaksud :

Dikaffarah (ampun dosa) setahun lalu dan setahun akan datang.
(Hadis isnad sahih dari imam Muslim, Tarmizi)
6. Di dalamnya terdapat ibadah udhiyah (berkorban) dan haji.

Dalam sepuluh hari ini juga terdapat yaum nahar (hari penyembelihan) yang secara umum menjadi hari teragung dalam setahun. Hari tersebut adalah haji besar yang berkumpul berbagai ketaatan dan amal ibadah padanya yang tidak terkumpul pada hari-hari selainnya.

Sesungguhnya siapa yang mendapatkan sepuluh hari bulan Zulhijjah merupakan sebahagian dari nikmat Allah yang besar atas hambaNya. Hanya orang-orang soleh yang bersegera kepada kebaikanlah yang mampu menghormatinya dengan selayaknya. Dan kewajipan seorang muslim adalah merasakan nikmat ini, memanfaatkan kesempatan emas ini dengan memberikan perhatian yang lebih, dan menundukkan dirinya untuk menjalankan ketaatan. Sesungguhnya di antara kurnia Allah Ta’ala atas hamba-Nya adalah menyediakan banyak jalan berbuat baik dan meragamkan berbagai bentuk ketaatan agar semangat seorang muslim berterusan dan tetap istiqamah menjalankan ibadah kepada Tuhannya.

Shaikh Munajjid rahimahullaah menjelaskan, ada beberapa amal istimewa yang harus selayaknya dikerjakan oleh seorang muslim pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah, di antaranya:

1. Berpuasa. Seorang muslim disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 Zulhijjah kerana Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan untuk beramal salih pada sepuluh hari ini, dan puasa salah satu dari amal-amal shalih tersebut. Terlebih lagi, Allah Ta’ala telah memilih puasa untuk diri-Nya sebagaimana terdapat dalam hadis Qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Semua amal anak Adam untuk dirinya kecuali puasa, sungguh puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.

(HR. al-Bukhari no. 1805)

Dan sungguh Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa 9 Zulhijjah. Dari Hunaidah bin Khalid, dari isterinya, dari salah seorang isteri Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

Adalah Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa 9 Zulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap bulan serta Isnin pertama dari setiap bulan dan dua hari Khamis.

(HR. Al-Nasai dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Shahih Abi Dawud: 2/462)

2. Bertakbir. Disunnahkan membaca takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih selama sepuluh hari tersebut. Dan disunnahkan mengeraskannya di masjid-masjid, rumah-rumah, dan di jalan-jalan. Dan setiap tempat yang dibolehkan untuk zikrullah disunnahkan untuk menampakkan ibadah dan memperlihatkan pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Kaum laki-laki mengeraskan  suaranya sementara kaum wanita melembutkannya.

Allah Ta’ala berfirman,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.”

(QS. Al-Hajj: 28)

Menurut Juhmur ulama, makna al-ayyam al-ma’lumat adalah sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah, sebagaimana yang diriwatkan dari Ibnu Abbas radiallaahu ‘anhuma, “Al-Ayyam al-Ma’lumat: Hari sepuluh.”

Salah satu bentuk kalimat takbirnya adalah:

الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر ولله الحمد

Dan masih ada lagi bentuk takbir yang lain.

3. Melaksanakan haji dan umrah. Sesungguhnya di antara amalan yang paling utama untuk dikerjakan pada sepuluh hari ini adalah berhaji ke Baitullah al-Haram. Maka siapa yang diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan haji ke Baitullah dan melaksanakan manasiknya sesuai dengan ketentuan syariat, maka dia mendapatkan janji –Insya Allah-  dari sabda Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam,

Haji yang mabrur ridak ada balasannya kecuali surga.
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

4. Melaksanakan amal-amal soleh secara umum. Sesungguhnya amal soleh dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan ini pasti akan memperbesar pahala di sisi Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang tidak memungkinkan melaksanakan haji, maka hendaknya dia menghidupkan waktu-waktu yang mulia ini dengan ketaatan-ketaatan kepada Allah Ta’ala berupa solat, membaca Al-Qur’an, zikir, doa, sedekah, berbakti kepada orang tua, menyambung tali persaudaraan, memerintahkan yang baik dan melarang yang munkar, dan berbagai amalan kebaikan lain.

5. Berkorban. Di antara amal soleh pada hari yang kesepuluhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih haiwan korban yang gemuk dan baik, dan berinfaq di jalan Allah Ta’ala.

Ibadah Korban
6. Taubat Nasuha. Di antara yang sangat ditekankan juga pada sepuluh hari ini adalah bertaubat dengan benar-benar (taubatan nasuha), meninggalkan perbuatan maksiat dan melepaskan diri dari seluruh dosa.
Taubat adalah kembali kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang dibenci-Nya yang nampak maupun yang tersembunyi sebagai bentuk penyesalan atas perbuatan buruk yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan beristiqamah di atas kebenaran dengan melaksanakan apa-apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

Semoga kita tergolong sebagai hamba-hamba Allah yang mampu berterusan dan istiqamah dalam beribadah kepadaNya. Memanfaatkan setiap kesempatan yang telah disediakan untuk menuai pahala. Sehingga kita datang kepada Allah dengan membawa bekal yang cukup dan memiliki modal yang memadai untuk memasuki surga-Nya yang Maha indah dan menyenangkan.

Coretan:

Dari koleksi emel Masjid Annahl Group

Friday, 9 July 2021

Ibadah Qurban

 Hari ini 29 Zulkaedah 1442 Hijrah. Esok 1 Zulhijjah dan 10 hari lagi insya Allah umat Islam di seluruh dunia akan menyambut I'dul Adha. Ramai di kalangan umat Islam di Malaysia yang masih tidak sedar akan kebesaran hari itu sama seperti Hari Raya Puasa. Maka hendaklah kita menyambutnya dengan kemeriahan (dalam lingkungan syarak) sepertimana kita menyambut I'dul Fitri .

Ramai juga yang tidak tahu bahawa amalan berqurban itu hukumnya sunat muakkad (yang dituntut) bagi orang yang mempunyai lebihan dan kemudahan harta. Demikian pendapat majoriti ulama termasuklah sahabat besar seperti Abu Bakar as-Siddiq r.a, Umar al-Khattab r.a, Ibn Mas'ud r.a dan lain-lain, kecuali Imam Abu Hanifah berpendapat ianya WAJIB bagi mereka yang berkemampuan. Ini berdasarkan pada hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Dari Abu Hurairah ra., nabi Muhammad saw bersabda,“Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat solat kami”.

Rasulullah saw memerintahkan berqurban dengan bahasa yang tegas dan mudah, bahkan disertai ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat solat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad.

Mengapa Islam sangat mengambil berat amalan berqurban ini?Apakah hakikat qurban sebenarnya?

Perintah untuk melaksanakan qurban adalah sebagai bukti rasa syukur kita kepada Allah SWT, yang telah menganugerahkan begitu banyak nikmat kepada manusia sehingga tidak terhitung jumlahnya.
Firman Allah SWT,

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Ia telah memberi kepada kamu sebahagian dari tiap-tiap apa jua yang kamu hajati. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, nescaya lemahlah kamu menentukan bilangannya. Sesungguhnya manusia (yang ingkar) sangat suka menempatkan sesuatu pada bukan tempatnya lagi sangat tidak menghargai nikmat Tuhannya.
( Ibrahim:34)
Dan yang paling besar anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

”Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(Al-Ma’idah:3)

Berqurban tidak sekadar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong haiwan qurban, namun lebih dari itu. Berqurban bererti ketundukan menyeluruh terhadap perintah-perintah Allah SWT dan sikap menjauhi dari hal-hal yang dilarang-Nya. Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah; apakah dia bersangka baik kepada-Nya dan melaksanakan tuntutan itu dengan ikhlas tanpa ragu-ragu, seperti Nabi Ibrahim. Berqurban juga bererti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan dengan itu seluruh isi kehidupannya boleh menjadi manifestasi sikap berqurban.


 Larangan Memotong Kuku dan Rambut Peserta Korban

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Daripada Ummu Salamah RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: "Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah dan salah seorang antara kamu semua ingin menyembelih korban, janganlah memotong rambut dan kukunya (sehingga selesai korban)." 

(Sahih Muslim No: 3655) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Bagi mereka yang ingin melaksanakan ibadah korban, dilarang (makruh)  menggunting rambut, mencukur, mencabut sebarang bulu di badan dan memotong kukunya bermula dari tarikh 1hb Zulhijjah sehingga dia melaksanakan ibadah korban tersebut.

2.  Menurut Imam al-Nawawi larangan di dalam hadis ini bermaksud makruh memotongnya. Larangan menghilangkan kuku dengan memotong, mencabut atau dengan cara lain (secara sengaja). Termasuk juga larangan menghilangkan rambut sama ada mencukur, memendek, mencabut, membakar, menggunakan sesuatu untuk menghilangkan rambut dan apa jua cara sama ada pada bulu ketiak, misai, bulu ari-ari, rambut atau bulu-bulu lain di bahagian anggota badan yang lain." (Syarah Muslim  Imam al-Nawawi, jil. 13, ms. 138-139) 

3.  Bagi mereka yang sengaja mahupun tidak sengaja memotong kuku ataupun rambut sebelum melaksanakan ibadah korban, memadai dia memohon keampunan kepada Allah. Dia tidak dikenakan fidyah (tebusan atau denda).

Ibn Qudamah r.h berkata: "Jika perkara itu berlaku, dia hendaklah segera beristighfar (memohon ampun) kepada Allah. Menurut ijmak tidak ada fidyah sama sekali, baik dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja." (Kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah, jil. ms. 96)

 4.  Majoriti ulama dari mazhab Maliki, Syafie dan sebahagian mazhab Hanbali menyatakan makruh hukumnya memotong kuku atau rambut yang ada pada badan bermula 1hb Zulhijjah hingga ibadah korban dilaksanakan.

Jom amalkan sunnah dengan tidak memotong kuku dan sebarang rambut bermula 1hb Zulhijjah bersamaan hari Ahad 11hb Julai ini bagi peserta korban sehingga ibadat korban dilaksanakan. 

Negara Rahmah Ummah Sejahtera


Petikan dari,

PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS
Pertubuhan IKRAM Malaysia Negeri Johor
9 Julai 2021
28 Zulkaedah 1442H





Monday, 12 November 2012

Doa Awal dan Akhir Tahun – amalan bidaah atau sunnah?


MENJADI kelaziman bagi sebahagian besar umat Islam di Malaysia, apabila berakhir bulan Zulhijjah, mereka melakukan satu upacara doa yang dikenali dengan ‘Doa Awal dan Akhir Tahun’. Ia dibaca selepas waktu Asar, atau sebelum Maghrib pada hari terakhir bulan Zulhijjah. Lafaz doanya ‘disunatkan’ dibaca sebanyak tiga kali, dan dikatakan fadhilat doa ini ialah apabila dibaca, maka syaitan akan berkata, “Kesusahan bagiku, dan sia-sialah pekerjaanku menggoda anak Adam pada setahun ini dan Allah binasakan aku satu saat jua”. Disebut juga, dengan membaca doa ini Allah akan mengampunkan dosanya setahun.
Begitu besarnya kelebihan yang disebut-sebut tentang doa awal dan akhir tahun ini. Maka tidak hairanlah ramai yang
mempercayainya dengan harapan memperolehi kelebihan itu; sehingga di sesetengah sekolah, asrama, atau pejabat-pejabat, ia dibaca secara berkumpulan, dengan dipimpin oleh seorang ustaz selaku tekong dalam upacara doa tersebut dan diaminkan oleh jemaah. Begitu juga di surau-surau dan masjid-masjid tidak ketinggalan menganjurkan majlis—mallis khas bacaan doa ini.
Persoalannya: Adakah doa-doa khas awal tahun yang dibaca, atau majlis-majlis bacaan khusus sempena awal tahun itu berlaku pada zaman Rasulullah s.a.w?
Jawapan: Tidak pernah Rasulullah s.a.w. mengajar lafaz khusus doa bagi awal tahun baru hijrah atau akhir tahun. Apa tidaknya, penentuan tahun hijrah sebagai perkiraan kalender kita itupun ditetapkan oleh Amirul Mukminin ‘Umar Ibn al-Khattab, bagi memudahkan urusan pentadbiran kaum muslimin. Namun secara umum seseorang boleh berdoa dengan apa-apa lafaz dan untuk apa-apa hajat sekalipun, selagi mana ia tidak menyanggahi syarak, termasuklah hajat agar tahun yang dimasuki tersebut dilimpahkan kebaikan. Adapun majlis-majlis khusus untuk doa atau zikir khas bagi tahun baru tidak pernah diajar Nabi s.a.w, juga para sahabah baginda. Bahkan Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab yang memulakan perkiraan tahun Islam  dengan tahun berlakunya hijrah Nabi s.a.w. itupun tidak pernah mengadakan majlis ibadah khusus yang seperti itu. Tidaklah kita ini lebih tahu mengenai hal ehwal ibadah melebihi Nabi s.a.w. Sebaik-baik petunjuk itu adalah petunjuk Rasulullah s.a.w.
( Ini adalah jawapan daripada Dr. Mohd Asri bin Zainul Abidin apabila diajukan soalan ini.)
Syeikh Bakr Abu Zaid (rahimahullah) menyebut satu kaedah dalam amalan doa, iaitu:
“Setiap orang yang mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan ibadah seperti doa dan zikir dalam bentuk yang ditetapkan dengan menganggap ia adalah satu sunnah, sedangkan ia bukan daripadanya, maka dia dihukum berdosa.”
Mungkin ada di kalangan kita yang menganggap ini perkara kecil, tetapi ingatlah kata-kata Imam al-Barbahari,
“Dan awaslah kamu daripada perkara-perkara kecil yang diada-adakan, kerana bidaah-bidaah kecil akan berulang hingga ia menjadi besar”.
Ibn Taimiyyah pula mengatakan,
“Bidaah-bidaah pada permulaannya hanya sejengkal. Kemudian ia bercambah di kalangan pengikut-pengikut, hingga menjadi beberapa hasta, beberapa batu dan beberapa farsakh“. (Satu farsakh bersamaan 3 batu).
Beberapa amalan yang boleh menghapuskan dosa-dosa lepas:
1. Puasa pada Yaumul ‘Asyuro, yaitu tanggal 10 Muharram, sepertimana sabda Rasullah s.a.w. yang bermaksud: “Aku berharap kepada Allah, dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Puasa Arafah pada 9 Zulhijjah. Hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi mereka yang tidak menunaikan ibadah haji. Rasulullah s.a.w.bersabda:
“Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah menjadi penghapus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.”
(HR. Muslim).
Dalam hadis lain,      “Tidak ada hari-hari yang amal soleh didalamnya lebih Allah cintai kecuali pada hari ini, iaitu: 10 hari bulan Zulhijjah, mereka berkata:  Apakah jihad fisabilillah tidak lebih utama dari itu?, beliau bersabda:  Tidak juga jihad, kecuali seseorang yang keluar
berjihad dengan jiwa dan hartanya dan tidak ada yang kembali satupun.” 
(Riwayat Bukhari).

Thursday, 12 April 2012

Kaum Adam dan Solat Jumaat

Jumaat 20 Januari 2012

Hari ini selepas mengambil anak daripada Hospital Sultanah Aminah JB kami menyinggah di sebuah masjid yang terletak tidak jauh dari sekolah Maktab Sultan Abu Bakar (MSAB). Jam sudah menunjukkan 12.50 tgh ketika itu. Kebetulan di tepi masjid ada sebuah kedai makan yang dibuka. Suami dan anak menjamu selera terlebih dahulu sebelum masuk ke masjid untuk menunaikan solat fardhu Jumaat. Saya tidak  makan bersama mereka kerana masih terasa kenyang.

Niat di hati nak join jemaah tetapi keadaan masjid tidak mengizinkan saya solat bersama. Sementara menunggu mereka selesai solat saya pun tunggu di kedai makan dan mengambil keputusan untuk makan sedikit supaya masa lapang itu terisi.

Hari itu sangat panas. Saya hendak menjamu selera di bawah kipas tetapi semua meja yang berada di bawah kipas sudah dipenuhi. Jadi saya pun tunggulah hingga selepas azan berkumandang untuk makan kerana waktu itu mesti semua pelanggan lelaki yang berada di situ akan keluar menuju ke masjid. Selepas azan hanya sebahagian saja yang keluar ...... saya agak hairan dan tertanya-tanya sendiri "Kenapa depa tak pi masjid?".

Saya pun masuk ke dalam kedai. Ada beberapa buah meja yang kosong dan saya duduk di sebuah meja yang berhadapan dengan 2 orang jejaka yang sedang menjamu selera dengan relaksnya  ..... tidak nampak lansung aksi nak dipercepatkan apa yang sedang dibuat. Saya gelar mereka berdua ini Mat Biru dan Mat Belang. Mat biru kacak berpakaian baju melayu biru langit dan berkain pelikat. Mat Belang pula berbaju T-shirt belang melintang biru tua dan putih, juga berkain pelikat. Mereka mungkin berada dalam golongan  pertengahan umur walaupun Mat Biru sudah beruban.

Lelaki-lelaki yang berada di situ samada sedang berborak-borak sambil minum atau makan ataupun sebahagian besar hanya duduk untuk menghabiskan rokok di tangan, walaupun  jelas kedengaran imam sedang berkhutbah. Di pertengahan khutbah pertama, Mat Belang sempat mengoder teh 'o' panas. Dalam hati saya beristighfar dan berkata.....Ssempat ke dia nak minum?". Selamba saja mereka berdua bersembang tanpa menghiraukan khutbah yang sedang dibaca.

Sabda Nabi SAW yang bermaksud:

Jika kamu berkata kepada temanmu pada hari Jum’at, “Diamlah kamu” sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat kesia-siaan”. Muttafaqun ‘alaihi
Ucapan “diamlah kamu” teranggap memutuskan perhatian dari mendengar khutbah walaupun sebentar sehingga menghasilkan kesia-siaan. Ini adalah keadaan orang yang menasehati (baca: menegur), maka bagaimana pula dengan orang yang memulakannya (yang ditegur-pent.)

Al-Hafzh menyatakan dalam Al-Fath, “Maka jika beliau (Nabi) menghukumi ucapan “diamlah kamu” -padahal dia adalah orang yang beramar ma’ruf- sebagai kesia-siaan, maka ucapan yang lainnya lebih lagi dianggap sebagai kesia-siaan”.

Selesai khutbah pertama dibaca Mat Biru dan beberapa orang yang lain bangun meninggalkan kedai menuju masjid tetapi Mat Belang bersama beberapa orang yang lain, termasuk Pakcik 'ambil oder' dan mamat 'tukang bancuh air' masih berada dalam kedai. Apabila khutbah kedua mula dibaca Mat Belang minta ketul ais untuk tehnya yang masih panas untuk diminum. Selesai khutbah kedua dibaca barulah dia berserta beberapa yang lain bangun  menuju ke masjid.

Menurut jumhur ulamak, khutbah merupakan antara syarat sah solat Jumaat.  Sa’id bin Jubair berpendapat bahawa khutbah menyamai 2 rakaat solat zuhur, seandainya khutbah ditinggalkan dan mengerjakan Solat Jumaat sahaja bererti kita telah meninggalkan dua rakaat solat Zuhur.

Kemudian saya terpandang di sebalik almari lauk-pauk masih ada empat orang anak muda duduk bersembang-sembang di sebuah meja. "Mereka ini budak-budak China agaknya.", hati saya berkata-kata.

Semasa khutbah kedua sedang dibaca hujan turun dengan lebat sekali.....agaknya sebab itulah cuaca sebelum hujan itu sangat panas (mengikut teori orang tua-tua). Apabila solat hendak bermula saya pun berpindah duduk di bahagian luar kedai supaya saya dapat melihat bahagian dalam masjid. Mudah untuk saya tahu bila solat telah slesai sambil menunggu hujan rahmat berhenti.

Sebaik sahaja keluar terpandang di kiri saya dua orang budak sekolah sedang nyenyak tidur di sebuah sofa buruk. Saya pun kejutkan mereka dan dengan bingkas mereka bangun dan kelihatan begitu terkejut apabila terpandang saya, menyuruh mereka pergi solat. Tanpa banyak bicara mereka meninggalkan sofa buruk itu. Selepas itu saya mencari tempat duduk di sebelah kanan. Alangkah terkejutnya saya apabila melihat sekumpulan empat orang anak muda yang saya sangka berketurunan China itu sebenarnya orang Melayu yang secara otomatiknya beragama Islan di Malaysia ini. Salah seorangnya lengkap memakai baju melayu berkain pelikat. Sampai hati mereka tak ke masjid yang hanya beberapa meter saja dari meja duduk mereka!

Siapakah yang hendak mereka tipu ....... ibu-bapa mereka, kawan-kawan, diri mereka ataupun Allah? Tidak ada lansung perasaan malu dalam diri mereka!

Salah Siapa?

Siapakah yang sepatutnya dipersalahkan dalam hal ini? Siapakah yang akan menanggung dosa ...... tuan kedai, pelanggan atau kedua-dua?

Islam tidak melarang umatnya berjual beli pada hari Jumaat tetapi bersyarat. Firman Allah di dalam surah al-Jum’ah ayat 9  yang bermaksud:

 "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikumandangkan seruan mengerjakan Solat Jumaat, maka bersegeralah kamu pergi (ke masjid) untuk mengingati Allah S.W.T dan tinggalkanlah jual beli (pada saat itu) ; yang demikian adalah lebih baik bagi kamu , jika kamu mengetahui (hakikat yang sebenarnya). Kemudian setelah selesai sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk menjalankan urusan masing-masing) dan carilah dari limpah kurnia Allah S.W.T, serta ingatlah akan Allah S.W.T banyak-banyak (dalam segala keadaan) supaya kamu berjaya ( di dunia dan di akhirat).

Dalam kes di atas kami berasa selesa dapat menjamu selera di situ kerana dapat menjimatkan waktu supaya suami dan anak dapat masuk awal ke masjid.

Allah S.W.T  memberi ganjaran yang besar kepada mereka yang sering berusaha datang awal ke Masjid  pada hari Jumaat terutama sebelum khatib berkhutbah. Dalam sepotong hadith Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud:

“Apabila tiba hari Jumaat, maka pada setiap pintu masjid  terdapat malaikat yang mencatat orang-orang yang masuk mengikut urutan. Apabila imam / khatib telah duduk di atas mimbar, maka malaikat menutup buku catatan mereka dan datang untuk mendengar khutbah.”

Dilema di atas boleh dielakkan jika semua pihak (penjual, pembeli dan pihak berkuasa) mengambil beberapa tindakan seperti di bawah:

Pertama: Aktiviti jual beli hendaklah ditangguhkan sementara waktu ketika mana  azan kedua berkumandang.

Kedua: Perniagaan boleh diteruskan dengan syarat urus niaga tersebut dijalankan antara penjual wanita dan pembeli wanita sahaja.

Ketiga:  Para jemaah lelaki disarankan agar menangguhkan urusniaga di samping  mengambil peluang  masuk awal ke dalam masjid mendengar khutbah.

Ini hanyalah segelintir yang kita nampak dengan jelas kaum Adam yang ponteng solat Jumaat. Berapa ramai lagi yang di luar sana yang menyorok di rumah, di pejabat dan entah mana-mana lagi. Hanya Allah saja yang mengetahui!

Wednesday, 12 October 2011

Labbaikallahumma Labbaik - Aku memenuhi panggilanMu

Bacaan Talbiah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ

 إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaikallahumma Labbaik
Labbaika Laa Syarikalaka Labbaik
Innalhamda Wan Ni'mata
Laka Wal Mulk
Laa Syarikalak

Erti bacaan talbiyah:

Aku memenuhi panggilanMu ya Allah aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu tiada sekutu bagiMu aku memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya pujian dan ni’mat adalah milikMu begitu juga kerajaan tiada sekutu bagiMu



Setiap kali  mendengar bacaan talbiah ini teringat ketika saya dan suami berada di Tanah Suci menunaikan ibadat haji lebih kurang 10 tahun yang lalu. Pilu dan sedih mendengarnya dek perasaan rindu untuk menziarahinya sekali lagi. Kami teringin sangat untuk kembali ke sana tetapi keadaan tidak menizinkan buat masa ini.

Sehingga ke hari ini saya masih tertanya-tanya, "Apakah saya mendapat haji mabrur?", "Apakah saya sudah laksanakan semua rukun-rukun haji itu dengan sempurna?". Alangkah ruginya kalau ibadat haji saya itu tidak diterima ..... kerana itulah perlu berhati-hati dalam menunaikannya ...... persediaan dari sudut fizikal dan rohani amat-amat  diperlukan.

Apakah Haji Mabrur?

Para pakar fiqh mengatakan bahawa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada ketika melaksanakan rangkaian manasiknya (tata cara haji).

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,

“Haji mabrur adalah jika sekembali dari haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akhirat.”

Al Qurthubi rahimahullah  menyimpulkan,

“Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat ketika melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah balik haji.”


Manakala An Nawawi rahimahullah pula berkata,

“Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak  dinodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahawa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahawa haji mabrur adalah haji yang tidak dicampuri unsur riya’. Ulama yang lain berpendapat bahawa haji mabrur adalah jika sekembali dari haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.”

Setelah faham apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, maka sewajarnya orang yang berhasil mencapai ketetapan  tersebut akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang layak baginya selain syurga.”

(HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang layak baginya selain syurga’, bahawasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya; bahkan ia memang layak untuk masuk syurga.”

Di antara bukti dari haji mabrur adalah gemar berbuat baik terhadap sesama insan.Dari Jabir, ia berkata bahawa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang haji yang mabrur. Jawapan beliau,

إطعام الطعام و طيب الكلام

“Suka bersedekah dengan cara memberi makan dan memiliki tutur kata yang baik”      (HR. Hakim no. 1778)
Syaikh Al Albani mengatakan bahawa hadis ini hasan.

Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya’, hanya ingin mencari pujian, seperti ingin disebut “Pak Haji”. Ketika melakukan haji pun melalui jalan yang benar, bukan dengan cara menipu atau menggunakan harta yang haram. Ketika melakukan manasik haji, harus menjauhi maksiat, ini juga termasuk kriteria mabrur. Begitu pula disebut mabrur adalah sesudah menunaikan haji tidak boleh lagi berbuat maksiat tetapi berusaha menjadi yang lebih baik.

Adalah  menjadi tanda tanya besar jika seseorang selepas haji  masih meneruskan maksiat yang dulu sering ia lakukan, seperti seringnya ponteng solat lima waktu, masih suka mengisap rokok atau malah masih berseronok berkumpul untuk berjudi. Kalau di kalangan artis pula masih aktif dengan aktiviti lama mereka dan kalau yang perempuan masih tidak menutup aurat, malah masih ada yang berpakaian seksi. Manakala para pemimpin pula tidak menunjukkan sebarang perubahan pada cara kepimpinan mereka, masih mengamalkan rasuah, menipu dan tidak amanah.

Jika demikian keadaannya, maka sungguh sia-sia haji yang ia lakukan. Pembiayaan  yang beribu dan tenaga yang tercurah selama haji, jadi sia-sia belaka.

Monday, 8 November 2010

Kemuliaan dan Keutamaan 10 hari Pertama Bulan Zulhijjah

Hari ini 1 Zulhijjah 1431 Hijrah ...... bermulalah "Jualan Mega" yang Allah tawarkan kepada kita selama 10 hari. Marilah kita sama-sama merebut tawaran ini dengan mengutip sebanyak pahala yang mungkin dengan memperbanyakkan amal ibadah sepanjang 10 hari tertentu ini.

Pada sepuluh hari pertamanya terdapat banyak kemuliaan dan keutamaan serta dipenuhi barakah. Hari-hari tersebut disediakan oleh Allah sebagai musim ketaatan dan kesempatan beramal soleh yang bersifat tahunan. Maka hendaknya seorang muslim menantikan kehadirannya, memanfaatkannya dengan melaksanakan berbagai ibadah yang disyariatkan, menjaga perkataan dan amal yang soleh agar mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dan membantunya dalam menghadapi kehidupan ini dengan jiwa yang tenang dan semangat yang berkobar.

Bukti kemuliaan ini, Allah Ta’ala bersumpah dengannya dalam Al-Qur’an al-Karim.

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)

Imam al-Thabari dalam menafsirkan “Wa layaalin ‘asr” (Dan malam yang sepuluh), “Dia adalah malam-malam sepuluh Zulhijjah berdasarkan kesepakatan hujjah dari ahli ta’wil (ahli tafsir).” (Jaami’ al Bayan fi Ta’wil al-Qur’an: 7/514)

Penafsiran ini dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, “Dan malam-malam yang sepuluh, maksudnya: Sepuluh Zulhijjah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan lebih dari satu ulama salaf dan khalaf.” (Ibnu Katsir: 4/535)

Kemuliaan sepuluh hari ini juga disebutkan dalam Surat Al-Hajj dengan perintah agar memperbanyak menyebut nama Allah pada hari-hari tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28)

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini menukil riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, “al-Ayyam al-Ma’lumat (hari-hari yang ditentukan) adalah hari-hari yang sepuluh.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/239)

Maka dapat disimpulkan bahawa keutamaan dan kemuliaan hari-hari yang sepuluh dari Zulhijjah telah datang secara jelas dalam Al-Qur’an al-Karim yang dinamakan dengan Ayyam Ma’lumat karena keutamaannya dan kedudukannya yang mulia.

Dari hadis pula, terdapat keterangan yang menunjukkan keutamaan dan kemuliaan sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijjah ini, di antaranya sabda Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Tidak ada satu amal soleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal soleh yang dilakukan pada hari-hari ini (iaitu 10 hari pertama bulan Zulhijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”                (HR. Abu Daud dan  Ibnu Majah).

Oleh kerana itu dianjurkan atas orang Islam pada hari-hari tersebut untuk bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, di antaranya solat, membaca Al-Qur’an, zikrullah, memperbanyak doa, membantu orang-orang yang kesusahan, menyantuni orang miskin, memperbaharui janji kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masih ada satu amalan lagi yang utama pada hari-hari tersebut, yaitu berpuasa sunnah di dalamnya.

Terdapat dalam Sunan Abu dawud dan lainnya, dari salah seorang isteri Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ

“Adalah Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada tanggal 9 Zulhijjah.”

(HR. Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 2081)

Syaikh Muhammad bin Salih al-Munajjid –Salah seorang ulama besar Saudi Arabia- berkata,

“Di antara musim ketaatan yang agung adalah sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijjah, yang telah Allah muliakan atas hari-hari lainnya selama setahun".

Hadis ini dan hadis-hadis lainnya menunjukkan bahawa sepuluh hari ini lebih utama dari seluruh hari dalam setahun kecuali, sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan. Syaikh Munajjid menambah, keutamaan sepuluh hari pertama ini diperkuat dengan beberapa bukti di bawah ini:

1. Allah Ta’ala telah bersumpah dengannya. Dan bersumpahnya Allah dengan sesuatu menjadi dalil keutamaannya dan besarnya manfaat. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)

Ibnu Abbas, Ibnu al-Zubair, Mujahid, dan beberapa ulama salaf dan khalaf berkata: Bahawasanya dia itu adalah sepuluh hari pertama Zulhijjah.

Ibnu Katsir membenarkan pendapat ini (Tafsir Ibni Katsir: 8/413)

2. Sesungguhnya Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersaksi bahawa hari-hari tersebut adalah seutama-utamanya hari-hari dunia sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis sahih.

3. Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memperbanyak amal salih di dalamnya. Sesungguhnya kemuliaan masa diperoleh oleh setiap penduduk negeri, sementara keutamaan tempat hanya dimiliki oleh jama’ah haji di Baitul Haram.

4. Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan takbir pada sepuluh hari tersebut. Dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhuma, dari Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal soleh di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Zulhijjah), kerananya perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya.” (HR. Ahmad 7/224, Syaikh Ahmad Syakir mensahihkan isnadnya).

5. Di dalamnya terdapat hari Arafah. Hari ‘Arafah adalah hari yang disaksikan; yang di dalamnya Allah menyempurnakan ajaran din-Nya sementara puasanya akan menghapuskan dosa-dosa selama dua tahun.

Daripada Abi Qatadah al-Ansari bahawa Rasulullah S.A.W telah ditanya mengenai puasa hari Arafah? maka jawab Rasulullah S.A.W yang bermaksud :

Dikaffarah (ampun dosa) setahun lalu dan setahun akan datang.
(Hadis isnad sahih dari imam Muslim, Tarmizi)
6. Di dalamnya terdapat ibadah udhiyah (berkorban) dan haji.

Dalam sepuluh hari ini juga terdapat yaum nahar (hari penyembelihan) yang secara umum menjadi hari teragung dalam setahun. Hari tersebut adalah haji besar yang berkumpul berbagai ketaatan dan amal ibadah padanya yang tidak terkumpul pada hari-hari selainnya.

Sesungguhnya siapa yang mendapatkan sepuluh hari bulan Zulhijjah merupakan sebahagian dari nikmat Allah yang besar atas hambaNya. Hanya orang-orang soleh yang bersegera kepada kebaikanlah yang mampu menghormatinya dengan selayaknya. Dan kewajipan seorang muslim adalah merasakan nikmat ini, memanfaatkan kesempatan emas ini dengan memberikan perhatian yang lebih, dan menundukkan dirinya untuk menjalankan ketaatan. Sesungguhnya di antara kurnia Allah Ta’ala atas hamba-Nya adalah menyediakan banyak jalan berbuat baik dan meragamkan berbagai bentuk ketaatan agar semangat seorang muslim berterusan dan tetap istiqamah menjalankan ibadah kepada Tuhannya.

Shaikh Munajjid rahimahullaah menjelaskan, ada beberapa amal istimewa yang harus selayaknya dikerjakan oleh seorang muslim pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah, di antaranya:

1. Berpuasa. Seorang muslim disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 Zulhijjah kerana Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan untuk beramal salih pada sepuluh hari ini, dan puasa salah satu dari amal-amal shalih tersebut. Terlebih lagi, Allah Ta’ala telah memilih puasa untuk diri-Nya sebagaimana terdapat dalam hadis Qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Semua amal anak Adam untuk dirinya kecuali puasa, sungguh puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.

(HR. al-Bukhari no. 1805)

Dan sungguh Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa 9 Zulhijjah. Dari Hunaidah bin Khalid, dari isterinya, dari salah seorang isteri Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

Adalah Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa 9 Zulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap bulan serta Isnin pertama dari setiap bulan dan dua hari Khamis.

(HR. Al-Nasai dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Shahih Abi Dawud: 2/462)

2. Bertakbir. Disunnahkan membaca takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih selama sepuluh hari tersebut. Dan disunnahkan mengeraskannya di masjid-masjid, rumah-rumah, dan di jalan-jalan. Dan setiap tempat yang dibolehkan untuk zikrullah disunnahkan untuk menampakkan ibadah dan memperlihatkan pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Kaum laki-laki mengeraskan  suaranya sementara kaum wanita melembutkannya.

Allah Ta’ala berfirman,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.”

(QS. Al-Hajj: 28)

Menurut Juhmur ulama, makna al-ayyam al-ma’lumat adalah sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah, sebagaimana yang diriwatkan dari Ibnu Abbas radiallaahu ‘anhuma, “Al-Ayyam al-Ma’lumat: Hari sepuluh.”

Salah satu bentuk kalimat takbirnya adalah:

الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر ولله الحمد

Dan masih ada lagi bentuk takbir yang lain.

3. Melaksanakan haji dan umrah. Sesungguhnya di antara amalan yang paling utama untuk dikerjakan pada sepuluh hari ini adalah berhaji ke Baitullah al-Haram. Maka siapa yang diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan haji ke Baitullah dan melaksanakan manasiknya sesuai dengan ketentuan syariat, maka dia mendapatkan janji –Insya Allah-  dari sabda Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam,

Haji yang mabrur ridak ada balasannya kecuali surga.
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

4. Melaksanakan amal-amal soleh secara umum. Sesungguhnya amal soleh dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan ini pasti akan memperbesar pahala di sisi Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang tidak memungkinkan melaksanakan haji, maka hendaknya dia menghidupkan waktu-waktu yang mulia ini dengan ketaatan-ketaatan kepada Allah Ta’ala berupa solat, membaca Al-Qur’an, zikir, doa, sedekah, berbakti kepada orang tua, menyambung tali persaudaraan, memerintahkan yang baik dan melarang yang munkar, dan berbagai amalan kebaikan lain.

5. Berkorban. Di antara amal soleh pada hari yang kesepuluhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih haiwan korban yang gemuk dan baik, dan berinfaq di jalan Allah Ta’ala.

Ibadah Korban
6. Taubat Nasuha. Di antara yang sangat ditekankan juga pada sepuluh hari ini adalah bertaubat dengan benar-benar (taubatan nasuha), meninggalkan perbuatan maksiat dan melepaskan diri dari seluruh dosa.
Taubat adalah kembali kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang dibenci-Nya yang nampak maupun yang tersembunyi sebagai bentuk penyesalan atas perbuatan buruk yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan beristiqamah di atas kebenaran dengan melaksanakan apa-apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

Semoga kita tergolong sebagai hamba-hamba Allah yang mampu berterusan dan istiqamah dalam beribadah kepadaNya. Memanfaatkan setiap kesempatan yang telah disediakan untuk menuai pahala. Sehingga kita datang kepada Allah dengan membawa bekal yang cukup dan memiliki modal yang memadai untuk memasuki surga-Nya yang Maha indah dan menyenangkan.

Coretan:

Dari koleksi emel Masjid Annahl Group


Friday, 23 July 2010

SERBA SERBI SHA'ABAN

Hari ini 10 Sya'aban 1431 H. Lebih kurang 20 hari dari sekarang umat Islam di seluruh dunia akan menyambut bulan Ramadan yang mulia. Dalam tempoh  inilah kita cuba mempersiapkan diri dan keluarga agar bersedia menjalani ibadah puasa yang akan datang - dari sudut  mental dan fizikal. Biarlah ibadah puasa kita di tahun ini lebih baik daripada tahun-tahun yang sebelumnya.

Sya'aban adalah di antara beberapa bulan yang mulia dalam Islam. Kadang-kadang ada amalan-amalan yang dibuat tidak menuruti sunnah Nabi SAW. Di sini saya turunkan satu artikel yang diterima melalui emel, iaitu amalan-amalan sunnah di bulan Syaaban. Semoga apa yang tercatit menjadi hujah kepada amalan kita dan bukan kerana ikut-ikutan semata-mata.

Marilah kita sama-sama berdoa supaya dipanjangkan umur agar kita dipertemukan dengan Ramadan  al-mubarak yang akan datang. Doanya seperti di bawah:




Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban.  Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).

Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban

Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun tidak berpuasa sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.”

(HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.”

(HR. Muslim no. 1156).

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.”

(HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:

  1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu.

  2. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a

Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas (majoriti) ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).

Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah -mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat (rojih). Adapun sanggahan untuk pendapat yang mengatakan bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian di rumah tidaklah terlarang adalah sebagai berikut.

Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang menganjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).

Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)

Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).

Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)

Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.”

“Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim)

Tatkala Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. (HR. Muslim no. 1144) Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (

Puasa Setelah Pertengahan Sya’ban

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.”

(HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)

Dalam lafazh lain,

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya. Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ’Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082)

Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.

Al Atsrom mengatakan, Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

At Thahawiy mengatakan bahwa mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut. Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)

Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:

Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri.


Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)

Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan? Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan. Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib Ramadhan dan puasa sunnah di bulan Sya’ban. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)
Demikian pembahasan singkat kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.

[Muhammad Abduh Tuasikal]

Monday, 15 March 2010

Membaca Surah At-Taubah Tanpa Basmalah

Basmalah adalah ringkasan daripada ucapan (lafaz) Bismillahir Rahmanir Rahim.

Soalan


Saya pernah dengar kalau kita baca surah At-Taubah, tidak perlu baca basmalah terlebih dahulu.  Adakah ini benar ustaz dan apa alasannya ?

Jawapan

Disunatkan membaca basmalah kepada sesiapa yang ingin membaca al-quran,  samada pada permulaan surah atau pertengahan surah selain surah Al-Baraah (At-Taubah). Adapun pada surah Al-Baraah pula terdapat perselisihan pendapat di dalam Mazhab Shafie mengenai hukum membaca basmalah padanya. Menurut pendapat Ibn Hajar  haram membaca basmalah pada permulaan surah Al-Baraah dan makruh membaca basmalah pada pertengahan surah ini. Menurut pendapat Ar-Ramli pula,  makruh membaca bismillah pada permulaannya dan sunat membacanya pada pertengahan surah ini. Pendapat ar-Ramli inilah yang muktamad.

Walau bagaimanapun adalah dimaafkan jika kita terbacanya di permulaan surah.

Terdapat perbezaan tentang sebab permasalahan ini :

Ada yang mengatakan bahawa hal itu disebabkan surah At- Taubah diturunkan pada saat peperangan, pertempuran dan untuk membongkar keadaan orang-orang munafik sehingga tidaklah sesuai apabila ia diawali dengan basmalah yang di dalamnya mengandungi rahmat (kasih sayang), sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab tatkala mereka menyerang orang lain dengan perkataan maka awal perkataannya adalah disesuaikan dengan isi perkataannya.

Juga yang diriwayatkan dari ibnu Abbas yang bertanya kepada Usman,”Mengapa tidak ditulis kalimah basmalah di antara surah At- Taubah dengan Al-Anfal?” Usman menjawab,”Kerana surah At- Taubah adalah surah yang terakhir turun dan sehingga Rasulullah saw wafat beliau tidak menjelaskan tentang permasalahan ini. Dan aku melihat  kisah awal surah ini hampir sama dengan kisah akhir-akhir surah Al- Anfal maka aku pun sertakan surah At- Taubah setelah surah Al- Anfal.
Wallahu a’lam


Rujukan:

E-Fiqh.com

Era Muslim.com

Sunday, 14 March 2010

Hukum Menyentuh Al-Quran Tanpa Wudhuk

Soalan

Assalamua'laikum wbt,

Ustaz, saya ingin bertanya,

Bolehkah kita membaca atau menyentuh Al-Qur'an tanpa ada wudhuk ?

Terima kasih atas jawapannya.

Jawapan


Waalaikumussalam wbt,

Menyentuh Al Qur’an Tanpa Wudhu

Para imam telah bersepakat diharamkan membawa mushaf dan menyentuhnya bagi orang yang sedang haid, nifas maupun junub. Tidak seorang pun sahabat yang menentangnya. Namun hal tersebut dibolehkan oleh Daud dan Ibnu Hazmazh Zhahiriy.

Dalil yang digunakan oleh para imam adalah firman Allah :

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80)


Artinya : “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil 'alamiin.”

(QS. Al Waqi’ah : 77 – 80)

Bahawa yang dimaksud dengan al Kitab di situ adalah mushaf sedangkan makna menyentuh adalah menyentuh secara fizikal yang telah diketahui.

Dalil ini mendapat tanggapan dari sebagian ulama yang menafsirkan “kitab yang terpelihara” adalah Lauh Mahfuzh sedangkan makna “orang-orang yang suci” adalah para malaikat. Atau seandainya yang dimaksud dengan al Kitab adalah mushaf, maka orang-orang yang suci adalah orang-orang yang suci dari kesyirikan, kerana orang-orang musyrik adalah najis.  Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnul Qoyyim didalam “At Tibyan fii Aqsaamil Qur’an, hal 141” bahawa yang dimaksud dengan al Kitab adalah yang ada ditangan para malaikat.

Para imam juga berdalil dengan hadis Ibnu Umar,

”Janganlah kamu menyentuh al Qu’an kecuali kamu dalam keadaan bersih”

Hadis disebutkan oleh Haitsami di dalam “Majma’ az Zawaid”. Dia mengatakan bahawa orang-orang yang meriwayatkannya boleh dipercayai. Sedangkan al Hafizh mengatakan bahawa sanadnya tidak masalah namun di dalamnya terdapat seorang perawi yang diperselisihkan.

Sedangkan dalil Daud dan Ibnu Hazm yang mengatakan tidak diperbolehkan membawa dan menyentuhnya adalah apa yang terdapat di dalam ash Shahihain, bahawa Nabi saw mengutus sebuah tulisan kepada Hiraklius yang didalamnya terdapat ayat :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ (64)


Artinya : “Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan…".

(QS. Al Imran : 64)

Termasuk tulisan-tulisan lainnya yang dikirim kepada mereka yang mana mereka tidaklah bersih dari junub.

Hal ini dijawab oleh para imam dengan mengatakan bahawa surat tidaklah boleh disamakan dengan mushaf dan tidak ada larangan dalam hal ini, seperti halnya membawa buku-buku agama yang didalamnya terdapat ayat-ayat al Qur’an. Dari sini kita dapat mengetahui bahawa membawa atau menyentuh mushaf bagi orang yang sedang haid atau junub adalah diharamkan. Tidak ada yang membantahnya. Hal itu merupakan bentuk penghormatan terhadap mushaf.

Adapun bagi orang yang berhadas kecil, maka hukumnya sebagai berikut :

1. Jumhur ulama mengharamkannya menyentuh dan membawa mushaf, ini adalah pendapat Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah di dalam salah satu riwayatnya, dalil-dalil mereka sama dengan yang diatas.

2. Sebagian ulama membolehkannya, ini adalah pendapat Abu Hanifah di dalam salah satu riwayatnya sebagaimana juga dibolehkan oleh Daud bin Ali.

Sebahagian orang-orang yang mengharamkannya mengecualikan hal itu terhadap anak-anak kecil yang belum baligh atau bermimpi kerana keperluan mereka untuk menghafal Al Qur’an serta memudahkan penghafalannya bagi mereka. Jika pun seorang anak itu bersuci (wudhuk) maka bersucinya itu tidaklah sah disebabkankan tidak sah niatnya. Hal ini kemudian dianalogikan kepada orang-orang dewasa yang memerlukan al Qur’an untuk menghafal Al Qur’an. Adapun apabila untuk tujuan ibadah maka diharuskan ke atasnya untuk bersuci.

Demikianlah,  membaca al Qur’an tanpa menyentuh atau membawa mushaf dibolehkan bagi orang yang sedang berhadas kecil. Ini sudah menjadi kesepakatan para fuqoha, walaupun yang paling utama (afdhol) adalah dalam keadaan bersuci, khususnya apabila dimaksudkan untuk ibadah, kerana ibadah dengan bersuci lebih sempurna dan lebih boleh diharapkan untuk diterima. (Fatwa al Azhar juz VII hal 496)


Sumber : eramuslim.com

--~--~---------~--~----~-------

Saturday, 10 October 2009

Puasa Enam

Hari ini sudah 21 hari kita masuk  ke bulan Syawal. Di sana sini dalam kuliah al- Islam orang akan menanyakan tentang hukum bagaimana cara sebenar-benarnya menunaikan ibadat puasa enam di bulan ini .......... ada yang kata kena selesaikan puasa ganti yang wajib dahulu sebelum memulakan berpuasa enam ....... ada juga yang kata tidak perlu tetapi boleh dibuat serentak dengan meniatkan puasa wajib qadha terlebih dahulu sebelun niat berpuasa sunat Syawal .......  dan ada juga yang berpendapat boleh  puasa sunat Syawal sahaja, sementara puasa qadha boleh dibuat di kemudian hari, pada waktu bila-bila saja.

Dilema ini hanya berlaku bagi wanita sahaja. Bagi orang lelaki jikalau perlu menggantikan puasa wajib tidak ada yang berselisih pendapat. Puasa wajib mesti digantikan terlebih dahulu sebelum  berpuasa enam. Wanita diberikan kelonggaran berdasarkan  berbagai halangan kesihatan yang terpaksa mereka lalui dalam melaksanakan ibadah berpuasa. Namun bagi yang berkemampuan boleh saja melangsaikan yang wajib sebelum meneruskan yang sunat.

Diriwayatkan dari Abu Ayyub r.a.

Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: "Barangsiapa shaum(berpuasa) pada bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan shaum (sunah) enam hari pada bulan Syawal, seolah-olah ia shaum sepanjang tahun.” (HR.Muslim).

Dari hadis ini tidaklah bermakna puasa enam hari itu mesti dilakukan berturut-turut, tetapi ianya boleh dilaksanakan enam hari di sepanjang bulan Syawal.

sigh

Bagi saya yang kurang berkemampuan saya memilih untuk melakukannya dengan berniat serentak, iaitu niat menkadhakan puasa Ramadhan dan diikuti niat untuk berpuasa sunat bulan Syawal. Jikalau saya ingin menunaikan yang wajib dahulu memang saya tidak berkemampuan di sudut kesihatan. Setiap tahun saya terpaksa menggantikan puasa lebih kurang seminggu. jika ditambah enam hari Syawal, bermakna saya kena berpuasa sebanyak 13 hari di bulan Syawal. Jumlah hari yang saya boleh berpuasa di bulan Syawal hanyalah lebih kurang 21 hari saja. Tolak lagi hari yang digunakan untuk berhari raya, tinggallah berbelas hari saja untuk menunaikan puasa yang sebanyak 13 hari (sekurang-kurangnya ..... kadang-kadang lebih) itu.

Saya perhatikan ada di kalangan masyarakat Malaysia yang sudah memulakan berpuasa enam pada hari yang kedua Hari Raya dan melakukannya berturut-turut. Mereka akan menolak sebarang undangan jamuan Hari Raya. Mereka juga tidak pergi menziarahi ahli keluarga yang lain kerana ingin menghabiskan puasa enam itu terlebih dahulu. Ini adalah amalan yang kurang tepat kerana kita digalakkan menerima undangan seperti yang disebut dalam hadis di bawah,

Dari Ibnu Umar r.a katanya:
Rasulullah s.a.w pernah bersabda:" Apabila seseorang daripada kamu dijemput ke majlis kenduri maka hendaklah kamu menghadirinya."
(Nombor hadith dalam Sahih Muslim : #2574,Bab Wajib Memenuhi Jemputan Orang Ke Majlis Kenduri)

Hari ini pun saya masih ada jemputan ke Majlis Hari Raya dan saya masih ada 1 hari lagi untuk menghabiskan puasa enam. Ianya tertangguh disebabkan masalah kesihatan. InsyaAllah saya akan menyambungnya esok untuk menggenapkan 6 hari ...... barulah puasa itu dikira sebagai "Puasa enam".

Bagi yang masih menjalankan ibadah puasa enam ....... selamat berpuasa! Bagi mereka yang masih belum .... selamat mencuba!


Tuesday, 18 August 2009

Ramadhan al-Mubarak (1430 Hijrah)

Ramadhan akan menjelma tidak lama lagi Insyaallah. Kepada semua kaum muslimin dan muslimat.....selamat menyambut Ramadhan al-mubarak. Semoga amalan kita di bulan yang mulia itu  pada tahun ini lebih baik daripada tahun-tahun yang lepas, InsyaAllah.


Selamat datang Ramadhan






أتاكم رمضان سيد الشهور،فمرحبا به وأهلا

" Telah datang kepada kamu Ramadhan penghulu segala bulan, Selamat Datang Diucapkan ”
                                                                                                  (al-Thabarani)


عَن ابْنِ مَسْعُود رَضى اللهُ تَعَالَى عَنهُ عَنِ النَّبِي (ص) اَنَّهُ قَالَ وَقَدْ دَنَا شَهْرُ رَمَضَانَ لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ

مَافِى رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِى اَن يَكُونَ سَنَةً


''Jika hamba-hamba Allah mengetahui apa yang ada dalam bulan Ramadhan, sudah tentu mereka bercita-cita supaya bulan Ramadhan berpanjangan selama setahun”.

(riwayat al-Tabrani)


Kenapa Ramadhan Istimewa dan Perlu Disemarakkan?

1. Bulan Baraqah

Pintu neraka ditutup, pintu syurga dibuka, syaitan dibelengu, ganjaran pahala berlipat ganda, lailatul qada.

قد أتاكم شهر رمضان، شهر مبارك

" Sesungguhnya telah datang kepada kamu bulan Ramadhan, iaitu bulan keberkatan“

(Hadis riwayat Ahmad dan An-Nasai)


2. Bulan  Rahmat dan Keampunan


عن ابى هريرة, رضى ألله عنه, قال : رسول ألله صلى ألله عليه وسلم: إذا كان رمضان، فتحت ابوابُ الرحمة، وغلقت ابواب جهنم. وسٌلسلتِ الشياطين (رواه مسلم)


Dari Abi Hurairah RA.Rasulullah SAW bersabda. Apabila masuk Ramadhan, dibukakan pintu-pintu rahmat dan pintu-pintu neraka ditutup serta dibelenggu syaitan-syaitan”

(riwayat: Muslim)

3. Bulan Al-Quran


شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ


“Bulan Ramadhan iaitu (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an (sebagai) petunjuk bagi sekelian manusia dan sebagai penjelasan daripada petunjuk itu serta sebagai pembeda (antara yang haq dan yang bathil).     AL-Baqarah: 185

~ Bulan permulaan al-Quran diturunkan

~ Bulan bermulanya petunjuk dan panduan untuk manusia


4. Bulan Ibadah

~ Ramadhan bulan meningkatkan ibadah


جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً ، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ،


"Bulan yang Allah jadikan berpuasa pada siangnya satu kefarduan, menghidupkan malamnya dengan qiyamullail sebagai satu amalan sunat. Sesiapa yang mendekatkan dirinya dengan Allah pada bulan ini dengan melakukan amalan sunat, pahalanya seperti beliau melakukan amalan yang wajib pada bulan yang lain. Sesiapa yang mendekatkan dirinya dengan Allah pada bulan ini dengan melakukan satu amalan wajib, pahalanya seperti beliau melakukan tujuh puluh amalan yang wajib pada bulan yang lain."


(Hadis riwayat Ibn Khuzaimah)


5. Bulan Kesabaran

وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ

Ia adalah bulan sabar dan ganjaran bagi sabar ialah syurga. Ia juga bulan dihapuskan segala dosa


6. Bulan Sedeqah



“ Nabi s.a.w adalah orang yang paling dermawan, terutamanya ketika di bulan Ramadhan baginda lebih dermawan daripada angin yang bertiup”

(Riwayat al-Bukhari & Muslim)

وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ


"Ia juga adalah bulan ditambah padanya rezeki orang yang beriman. Sesiapa yang memberi makanan untuk berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, maka dia mendapat keampunan pelepasan daripada api neraka. Orang itu juga mendapat pahala, sama seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa sedikit pun kekurangan."



7. Bulan Tarbiyyah

~Mendidik jiwa dengan sifat mulia

~Mendidik sifat pemurah

~Melazimkan ibadat – solat sunat tarawikh, iktikaf, sedekah

8. Bulan Muhasabah

9 . Bulan ilmu

10.Bulan mujahadah

11 .Bulan ukhuwah