Showing posts with label rejab. Show all posts
Showing posts with label rejab. Show all posts

Friday 23 July 2010

SERBA SERBI SHA'ABAN

Hari ini 10 Sya'aban 1431 H. Lebih kurang 20 hari dari sekarang umat Islam di seluruh dunia akan menyambut bulan Ramadan yang mulia. Dalam tempoh  inilah kita cuba mempersiapkan diri dan keluarga agar bersedia menjalani ibadah puasa yang akan datang - dari sudut  mental dan fizikal. Biarlah ibadah puasa kita di tahun ini lebih baik daripada tahun-tahun yang sebelumnya.

Sya'aban adalah di antara beberapa bulan yang mulia dalam Islam. Kadang-kadang ada amalan-amalan yang dibuat tidak menuruti sunnah Nabi SAW. Di sini saya turunkan satu artikel yang diterima melalui emel, iaitu amalan-amalan sunnah di bulan Syaaban. Semoga apa yang tercatit menjadi hujah kepada amalan kita dan bukan kerana ikut-ikutan semata-mata.

Marilah kita sama-sama berdoa supaya dipanjangkan umur agar kita dipertemukan dengan Ramadan  al-mubarak yang akan datang. Doanya seperti di bawah:




Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban.  Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).

Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban

Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun tidak berpuasa sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.”

(HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.”

(HR. Muslim no. 1156).

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.”

(HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:

  1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu.

  2. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a

Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas (majoriti) ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).

Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah -mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat (rojih). Adapun sanggahan untuk pendapat yang mengatakan bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian di rumah tidaklah terlarang adalah sebagai berikut.

Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang menganjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).

Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)

Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).

Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)

Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.”

“Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim)

Tatkala Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. (HR. Muslim no. 1144) Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (

Puasa Setelah Pertengahan Sya’ban

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.”

(HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)

Dalam lafazh lain,

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya. Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ’Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082)

Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.

Al Atsrom mengatakan, Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

At Thahawiy mengatakan bahwa mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut. Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)

Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:

Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri.


Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)

Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan? Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan. Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib Ramadhan dan puasa sunnah di bulan Sya’ban. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)
Demikian pembahasan singkat kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.

[Muhammad Abduh Tuasikal]

Thursday 9 July 2009

Awas! Hadis Palsu Bulan Rejab

Hari ini 15 Rejab 1430 Hijriah mengikut kalendar Islam. Apabila tiba saja bulan Rejab kita akan berjumpalah hadis yang sangat famous yang menceritakan tentang fadhilat-fadhilat berpuasa di bulan Rejab.

Di bawah ini saya sertakan salah satu hadisnya  sebagai contoh.

Awas! Hadis ini palsu.



Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
 "Ketahuilah bahwa bln Rejab itu adalah bulan ALLAH

swt, maka:”


1. Barang siapa yang berpuasa 1 hari dalam bulan ini dengan ikhlas, maka pasti ia mendapat keredhaan yang besar dari ALLAH swt

2. Dan barang siapa berpuasa pada tanggal 27 Rejab 1430 h/Isra Mi'raj ( Isnin , 20 Julai 2009 ) akan mendapat pahala seperti 5 tahun berpuasa

3. Barang siapa yang berpuasa 2 hari di bulan Rejab akan mendapat kemuliaan di sisi ALLAH swt

4. Barang siapa yang berpuasa 3 hari yaitu pada tanggal 1, 2, dan 3 Rejab ( 24,25 dan 26 Jun 2009 ) maka ALLAH swt akan memberikan pahala seperti 900 tahun berpuasa dan menyelamatkannya dari bahaya dunia dan seksa akhirat

5. Barang siapa berpuasa 5 hari dalam bulan ini, insyaallah permintaannya akan dimakbulkan Allah swt..InsyaAllah

6. Barang siapa berpuasa 7 hari dalam bulan ini, maka ditutupkan 7 pintu neraka Jahanam dan barang siapa berpuasa delapan hari maka akan dibukakan 8 pintu syurga

7. Barang siapa berpuasa 15 hari dalam bulan ini, maka ALLAH swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan menggantikan kesemua kejahatannya dengan kebaikan, dan barang siapa yang menambah (hari-hari puasa) maka ALLAH swt akan menambahkan pahalanya."

Sabda Rasulullah saw lagi :"Pada malam Mi'raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril as "Wahai Jibril untuk siapakah sungai ini?"

Maka berkata Jibrilb as "Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca selawat untuk engkau dibulan Rejab i ni."

Dalam sebuah riwayat Tsauban bercerita :"Ketika kami berjalan bersama-sama Rasulullah saw ke sebuah kubur, lalu Rasulullah saw berhenti dan beliau menangis dengan amat sedih, kemudian beliau berdoa kepada ALLAH swt. Lalu saya bertanya kepada beliau "Ya Rasulullah, mengapakah engkau menangis?" Lalu beliau bersabda "Wahai Tsauban, mereka itu sedang diseksa dalam kuburnya dan saya berdoa kepada ALLAH swt, lalu ALLAH swt meringankan atas mereka."

Sabda beliau lagi "Wahai Tsauban, kalaulah sekiranya mereka ini mahu berpuasa satu hari dan beribadah satu malam saja di bulan Rejab nescaya mereka tidak akan disiksa di dalam kubur." Tsauban bertanya "Ya Rasulullah, apakah hanya berpuasa satu hari dan beribadah satu malam dalam bulan Rejab sudah dapat mengelakkan dari seksa kubur?"

Sabda beliau "Wahai Tsauban, demi ALLAH Zat yang telah mengutus saya sebagai nabi, tiada seorang muslim lelaki dan perempuan yang berpuasa satu hari dan mengerjakan solat malam sekali dalam bulan Rejab dengan niat karena ALLAH swt, kecuali ALLAH swt mencatatkan baginya seperti berpuasa satu tahun dan mengerjakan solat malam satu tahun."

Di bawah ini juga saya perturunkan dalil-dalil yang menunjukkan tidak ada apa-apa keistimewaannya berpuasa di bulan Rejab berbanding bulan-bulan lain.

Dipetik daripada dakwatuna.com


Bulan Rajab adalah salah satu dari Empat Bulan Haram atau yang dimuliakan Allah swt. (Bulan Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Allah swt berfirman:

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
At Taubah: 36

Fenomena pergantian bulan di mata muslim adalah salah satu sarana untuk mengingat kekuasaan Allah swt dan dalam rangka untuk mengambil ibrah dalam kehidupan juga sebagai sarana ibadah.

Kerana itu, pergantian bulan dalam bulan-bulan Hijrah kita disunnahkan untuk berdo’a, terutama ketika melihat hilal atau bulan pada malam harinya. Do’a yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah saw. adalah:

“Ya Allah, Jadikanlah bulan ini kepada kami dalam kondisi aman dan hati
kami penuh dengan keimanan, dan jadikanlah pula bulan ini kepada kami
dengan kondisi selamat dan hati kami penuh dengan keislaman. Rabb ku
dan Rabb mu Allah. Bulan petunjuk dan bulan kebaikan".
(HR. Turmudzi)

Shaum ( puasa ) di Bulan Rajab

Shaum dalam bulan Rajab, sebagaimana dalam bulan-bulan mulia lainnya
hukumnya sunnah.

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah aw. Bersabda:

“Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia).” Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad.

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Kerjakanlah ibadah apa yang engkau mampu, sesungguhnya Allah tidak pernah bosan hingga kalian bosan”.

Ibnu Hajar, dalam kitabnya “Tabyinun Ujb”,
menegaskan bahwa tidak ada hadits, baik sahih, hasan, maupun dha’if yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Rajab.


Bahkan beliau meriwayatkan tindakan Sahabat Umar yang melarang mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa.

Ditulis oleh Imam Asy Syaukani dalam Kitabnya, Nailul Authar, menerangkan bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur As Sam’ani yang mengatakan bahwa tidak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus.

Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.

Namun demikian, sesuai pendapat Imam Asy Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadis-hadis yang umum, seperti yang disebut di atas, itu cukup menjadi hujah atau landasan.

Di samping itu, kerana juga tak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.

Do’a Bulan Rajab

Bulan Rajab merupakan starting awal untuk menghadapi Bulan Suci Ramadhan.

Subhanallah, Rasulullah saw. menyiapkan diri untuk menyambut Bulan Suci Ramadhan selama dua bulan berturut sebelumnya, yaitu bulan Rajab dan bulan Sya’ban. Dengan berdoa dan memperbanyak amal solih.

Do’a keberkahan di bulan Rajab. Bila memasuki bulan Rajab, Nabi saw.
mengucapkan,

“Allaahumma Baarik Lana Fii Rajaba Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana".

“Ya Allah, berilah keberkahan pada kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.”


Hadis di atas disebutkan dalam banyak keterangan, seperti dikeluarkan
oleh Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346).
Al-Bazzar di dalam Musnadnya -sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar- (616). Ibnu As-Sunny di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658).

Ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939). Kitab ad-Du’a’ (911).

Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqy di dalam Syu’ab
(al-Iman) (3534). Kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14). Al-Khathib al-Baghdady
di dalam al-Muwadhdhih (II:473).

Memperbanyak amal solih, seperti shaum sunnah, terutama di bulan Sya’ban.

Diriwayat oleh Imam al-Nasa’i dan Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Huzaimah.

Usamah berkata pada Nabi saw.

“Wahai Rasulullah, saya tidak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah)
sebanyak yang Engkau lakukan dalam bulan Sya’ban.’ Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang. Di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa.”


Allahu a’lam